Heart of Borneo : “Paru-Paru” Dunia Di Hamparan Negara Serumpun

     Setelah diluncurkannya inisiatif kerjasama subregional ASEAN, Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area /BIMP EAGA, pada tanggal 24 Maret 1994 di Davao City, Filipina, pemerintah diantara ke-4 negara tersebut terlihat secara serius berusaha meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan negara-negara BIMP-EAGA. Salah satu Cluster  yang menjadi fokus kerjasama diantara negara anggota BIMP EAGA, yakni Environment and Natural Resource Development. Kawasan khusus yang menjadi perhatian dalam cluster tersebut, yaitu Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) yang melintasi wilayah negara Indonesia, Malaysia, dan Filipina ; serta Heart of Borneo (Heart of Borneo) yang melalui wilayah negara Brunei, Malaysia dan Indonesia. Dari kedua perhatian utama pada cluster Environment and Natural Resource Development  BIMP EAGA, kawasan HoB menjadi kawasan yang “sensitif” dalam pengelolaan sumber daya alam dan konservasi bagi ke-3 negara yang dilaluinya.

     Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), dimana salah satu butir penting peraturan tersebut yakni terdapat 76 Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang memiliki kepentingan ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi, serta pertahanan dan keamanan. Salah satu KSN yang memiliki kepentingan pengelolaan lingkungan hidup, yakni Kawasan “Jantung Kalimantan” atau lebih dikenal  Heart of Borneo. Selain dimasukkannya HoB dalam salah satu KSN, kawasan tersebut juga menjadi area “rentan” dalam pembangunan ekonomi di Koridor Kalimantan yang menjadi salah satu koridor ekonomi utama pada Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sehingga dengan kata lain, pemerintah telah lama memberikan perhatian bagi pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam/ hayati yang terkandung di kawasan tersebut. Untuk itu tulisan berusaha menjabarkan secara ringkas dan umum terkait dinamika pengelolaan kawasan HoB.

 

Heart of Borneo: “Paru-Paru” Dunia yang Tersisa

     Heart of Borneo (HoB) adalah inisiatif tiga negara, yaitu Brunei, Indonesia, dan Malaysia dimana sebagian wilayah negara-negara tersebut (Kecuali Brunei) berada di kawasan “jantung” Pulau Borneo, yang bertujuan untuk mengelola kawasan hutan tropis dataran tinggi yang didasarkan pada prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Nama Borneo mengacu pada keseluruhan wilayah yang terdiri dari Negara Brunei Darusalam, Malaysia Bagian Timur (Sarawak dan Sabah), dan Pulau Kaimantan bagi Indonesia (Provinsi Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara). Kawasan HoB memiliki kekayaan keanekaragaman hayati dimana sekitar 40-50% jenis flora dan fauna didunia dapat dijumpai di Pulau Kalimantan (Borneo). Kawasan HoB merupakan wilayah hulu 14 sungai dari 20 sungai utama yang mengalir di Pulau Kalimantan, antara lain Sungai Mahakam, Sungai Barito, dan Sungai Kapuas. Program prioritas dalam pengelolaan kawasan HoB, yaitu (i) Pengelolaan kawasan lintas batas negara; (ii) Pengelolaan kawasan lindung; (iii) Pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan; (iv) Pengembangan ekowisata; dan (v) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Luas kawasan HoB di tiga negara (Brunei, Malaysia, dan Indonesia) meliputi areal seluas kurang lebih 23 juta hektar yang secara ekologis saling berhubungan. Wilayah HoB merupakan kawasan pegunungan di tengah pulau Borneo yang memanjang secara diagonal dari barat daya ke timur lautyang didominasi oleh hutan hujan tropis dimana sebagian besar berada di wilayah Indonesia, yakni sekitar 72% wilayah keseluruhan) (Sekretariat Pokjanas HoB, 2013). Berikut rincian luas wilayah kawasan Heart of Borneo:

Image

     Fungsi lahan di “Jantung Borneo” terdiri dari kawasan lindung yang hanya meliputi 31% (taman nasional, cagar alam, suaka marga satwa, hutan lindung), serta selebihnya merupakan kawasan budidaya non kehutanan (perkebunan, pertambangan, dan lain-lain). Pada Heart of Borneo yang berada di wilayah Indonesia (Kalimantan), terdapat 4 Taman Nasional, yakni Taman Nasional Betung Kerihun,  Taman Nasional Kayan Mentarang, Taman Nasional Danau Sentarum, dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Sebagai salah satu hutan hujan tropis, pegunungan di HoB menjadi habitat bagi jutaan spesies flora dan fauna endemik, unik dan langka. Tingkat keanekaragaman hayati hutan pegunungan HoB sangat tinggi. Setidaknya 40- 50% jenis  flora dan fauna Borneo hanya dapat ditemui di kawasan ini. Bahkan dalam 10 tahun terakhir terdapat 361 species baru ditemukan (WWF Indonesia, 2012). Selain fungsinya sebagai kawasan hutan, HoB juga merupakan“rumah” bagi sekitar 50 suku Dayak, dengan bahasa dan budaya yang beragam (Kompas, 2012). Berikut peta dari kawasan Heart of Borneo :

Image

     Berdasarkan Peta Status Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan RI di overlay-kan  dengan batas kawasan HoB (Pokjanas HoB) tahun 2008 serta dengan analisis perhitungan luasan dilakukan dengan metode GIS, berikut penjabaran status hutan di kawasan HoB Indonesia di provinsi yang berada di Pulau Kalimantan:

Image

Dari data yang ditampilkan diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar fungsi lahan yang berada di kawasan HoB, yakni berupa kawasan konservasi dan sumber air tawar.

 Rencana Strategis HoB

     Setelah pertemuan KTT Tingkat Menteri Negara-Negara Kawasan HoB pada tanggal 12 Februari 2007 dimana butir penting yang disepakati dalam pertemuan tersebut, yaitu (i) Kerjasama manajemen sumber daya hutan yang efektif dan konservasi terhadap area yang dilindungi, hutan produktif, dan penggunaan lahan lainnya yang berkelanjutan; (ii) Inisiatif HoB merupakan kerjasama lintas batas yang sukarela dari tiga negara; dan (iii) Kesepakatan untuk bekerjasama  berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. 

Image

     Heart of Borneo merupakan sebuah perwujudan konsep konservasi dan pembangunan berkelanjutan ke dalam program manajemen kawasan  di Pulau Borneo. Inisiatif HoB  dilatarbelakangi kepedulian terhadap penurunan kualitas lingkungan terutama kualitas hutan di Pulau  Borneo, yang ditunjukkan dengan makin rendahnya produktivitas hutan, hilangnya potensi keanekaragaman hayati, serta fragmentasi hutan dari satu kesatuan yang utuh dan saling terhubung (Bulletin Tata Ruang KemenPU, 2012). Degradasi tutupan hutan Pulau Borneo dapat dilihat pada gambar berikut ini: 

Image

     Dalam inisiatif HoB tahun 2007 tersebut, juga disusun visi dan misi pengelolaan kawasan HoB yang “mengikat” 3 negara (Indonesia, Malaysia, dan Brunei). Visi pengelolaan kawasan HoB, yaitu terwujudnya pengelolaan dan konservasi yang efektif di kawasan hutan hujan   ekuator Heart of Borneo  yang meliputi 23 juta hektarmelalui jejaring kawasan lindung, hutan produksi dan penggunaan lahan yang berkelanjutan, yang memberimanfaat bagimasyarakat dan alam, melalui    kerjasama internasional yang dipimpin oleh masing-masingpemerintah negara di Borneo,yang didukung oleh industri dan upaya global yang berkelanjutan. Sedangkan misi pengelolaan kawasan Heart of Borneoadalah sebagai berikut: (i) Pada tahun 2020, 23 juta hektar jejaring kawasan lindung, cadangan lintas batas, dan koridor dikelola secara berkelanjutan dan zona penyangga berfungsi untuk menjamin masa depan semua spesies prioritas dan kawasan HoB endemik didirikan; (ii)Pada tahun 2020, tidak ada konversi hutan yang bernilai konservasi tinggi untuk penggunaan lahan lain di kawasan HoB; dan (iii) Pada tahun 2020,mekanisme pembiayaan jangka panjang  memberikan manfaat diversifikasi dan adil bagi masyarakat lokal dan pemerintah, dan meningkatkan barang dan jasa ekosistem.

     Selang dua tahun pasca dikeluarkannya Deklarasi Inisiatif HoB, pemerintah Indonesia mengeluarkan Rencana Strategis dan Aksi Nasional (National Strategic Plan of Action) kawasan Heart of Borneo di wilayah Indonesia tahun 2009-2014. Lingkup rencana strategis dan aksi nasional tersebut, terdiri dari trilateral, nasional, dan kabupaten (daerah). Butir penting yang dituangkan dalam Rencana Strategis dan Aksi Nasional kawasan HoB Indonesia, yaitu:

(i) Kerjasama provinsi dan kabupaten;

  • Penggunaan lahan berkelanjutan

o   Menetapkan batas area HoB

o   Mendorong terselesaikannya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/kota guna mewujudkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di area HoB

  • Penyempurnaan kebijakan sektor

o   Menyusun kriteria dan indikator pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan diseminasi agar terintegrasi dalam kebijakan sektor

  • Pengembangan kapasitas lembaga

o   Menyusun kerangka kerja kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dalam area HOB

o   Menyusun masterplan dan rencana pengelolaan HoB

o   Mengembangkan riset dasar dan terapan serta penguatan kerjasama antar lembaga riset sesuai visi dan misi HoB

o   Mendorong proses pelibatan, kerjasama, peningkatan kepedulian dan pendidikan dalam pelaksanaan HoB

(ii) Pengelolaan kawasan lindung;

  • Advokasi kebijakan

o   Merekomendasikan upaya penguatan pengelolaan dan/atau (jika dipandang penting) mengusulkan penambahan dan peningkatan status kawasan lindung dan kawasan konservasi di area HoB

o   Membangun kebijakan pengembangan dan atau penguatan pengelolaan kawasan konservasi lintas batas

  • Informasi dan manajemen pengelolaan kawasan lindung

o   Membangun standar, sistem, penilaian, publikasi, monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan lindung serta kerjasama kelembagaan antar pengelola kawasan lindung dan pengembangan ekowisata dalam areal HoB

  • Pemberdayaan masyarakat

o   Memperkuat kebijakan dan implementasi kerjasama pengelolaan kawasan lindung, termasuk pengembangan ekowisata berbasis masyarakat

  • Pelibatan peran serta swasta/BUMN

o   Mengembangkan opsi-opsi keterlibatan swasta/BUMN dalam pengelolaan kawasan lindung

(iii) Pengelolaan sumber daya alam di luar kawasan lindung;

  • Penyempurnaan kebijakan sektor

o   Mengembangkan pemerataan manfaat pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan

o   Memantau dan mengevaluasi kegiatan perekonomian serta mempromosikan area HoB sebagai tujuan ekowisata dan pelaksanaan program REDD+ dibawah payung konvensi perubahan iklim

o   Melakukan audit terhadap kegiatan pemanfaatan hutan alam dan tanaman di area HoB

o   Mendorong pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi terhadap kawasan hutan dan lahan yang rusak di area HoB

  • Penggunaan lahan berkelanjutan

o   Inventarisasi dan klasifikasi bentuk-bentuk konflik pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan di areal HoB

o   Menyusun mekanisme penyelesaian konflik dan melakukan mediasi penyelesaian konflik

o   Evaluasi penggunaan ruang

  • Sistem informasi dan pemantauan

o   Mengembangkan basis data sumber daya alam di seluruh areal HoB

o   Menyusun kriteria dan indikator untuk pelaksanaan monitoring dan evaluasi sumber daya alam

o   Melaksanakan monitoring dan evaluasi sumber daya alam

(iv) Penguatan kelembagaan dan pendanaan berkelanjutan;

  • Penguatan kapasitas lembaga

o   Mendorong adanya payung hukum area HoB

o   Menetapkan mekanisme hubungan kerja dan prioritas pekerjaan Pokjanas dan Pokjada HoB

o   Evaluasi kinerja pemerintah provinsi dan kabupaten dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di area HoB termasuk apabila ada tambahan provinsi atau kabupaten/kota baru akibat pemekaran wilayah

  • Penyempurnaan kebijakan sektor

o   Mendorong realisasi desentralisasi dan devolusi pengelolaan area HoB

  • Pengembangan pendanaan berkelanjutan

o   Menggalang dana dan mobilisasi sumber daya

o   Menggali dan menggalang pendanaan kreatif

 Green Economy: Sinergi HoB dan Pembangunan Ekonomi

     Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 mempunyai visi “Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Adil, dan Makmur”. Dalam penjabaran untuk mewujudkan visi tersebut, MP3EI memiliki inisiatif strategis, strategi utama serta prinsip dasar MP3EI. Inisiatif strategis MP3EI, yaitu (i) Mendorong realisasi investasi skala besar di 22 kegiatan ekonomi utama; (ii) Sinkronisasi rencana aksi nasional untuk merevitalisasi kinerja sektor riil; dan (iii) Pengembangan centre of excellence  di setiap koridor ekonomi. Dalam menunjang pencapain visi serta inisiatif strategis, MP3EI memiliki tiga “pilar” strategi utama untuk menopang pencapaian hal tersebut, yaitu (i) Pengembangan Potensi Ekonomi Melalui Koridor Ekonomi; (ii) Penguatan konektivitas nasional; dan (iii) Penguatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Berikut gambaran dari penjelasan tersebut:

Image

     Pembangunan koridor ekonomi di Indonesia dilakukan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia. Tema pembangunan masing-masing koridor ekonomi dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut:

– Koridor Ekonomi Sumatera memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra  Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”;

– Koridor Ekonomi Jawa memiliki tema pembangunan sebagai “Pendorong Industri dan Jasa Nasional”;

– Koridor Ekonomi Kalimantan memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil  Tambang & Lumbung Energi Nasional”;

– Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki tema pembangunan sebagai ‘’ Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan,  Migas dan Pertambangan Nasional;

– Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara memiliki tema pembangunan sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata  dan Pendukung Pangan Nasional’’;

– Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”.

     Pengembangan MP3EI berfokus pada 8 program utama, yaitu: pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, telematika, dan pengembangan kawasan strategis. Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama yang disesuaikan dengan potensi dan nilai strategisnya masing-masing di koridor yang bersangkutan. Berikut ini adalah pengelompokkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi utama dari masing-masing koridor:

Image

Image

     Dalam konsep MP3EI, pemerintah memiliki 4 konsep utama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya, yakni (i) Pro Poor; (ii) Pro Job; (iii) Pro Growth; dan (iv) Pro Environment.  Perpres No 3 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Pulau Kalimantan mengisyaratkan sedikitnya 45% dari Pulau Kalimantan harus digunakan sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan kawasan hutan lindung bervegetasi basah. Hal itu merupakan upaya mewujudkan komitmen Indonesia untuk menurunkan gas rumah kaca secara sukarela sebesar 26% pada 2020 (Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca/ RAN GRK) serta adanya inisiatif HoB yang telah ditandantangi oleh pemerintah Indonesia bersama Brunei dan Malaysia. Di sisi lain, dalam pengembangan koridor ekonomi MP3EI, Pulau Kalimantan dijadikan sebagai Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan Lumbung Energi Nasional. Produk pertambangan terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu minyak bumi dan gas alam (migas), batubara, dan bauksit. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pertambangan di darat  selalu “menggangu” keseimbangan dari kelestarian alam (kawasan konservasi/kehutanan). Tidaklah mudah untuk menyinergikan kepentingan pembangunan ekonomi yang tentunya memerlukan lahan dalam meningkatkan investasi, sementara dalam waktu yang sama langkah-langkah konservasi harus dilakukan.Selama ini pembangunan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, namun tidak diiringi dengan nilai susutnya sumber daya alam (deplesi) dan rusak/tercemarnya lingkungan (degradasi).

     Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha menerapakan pembangunan ekonomi di Pulau Kalimantan sejalan dengan komitmen untuk melestarikan lingkungan (pembangunan berkelanjutan). Memperhatikan tema pembangunan Pulau Kalimantan dalam MP3EI dan dalam rangka membangun pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan diperlukan penerapan konsep pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan dan pembangunan yang menjamin kesejahteraan masyarakat dan mencegah terjadinya penurunan fungsi dan kualitasekologis. Konsep ini biasa dikenal dengan  pembangunan ekonomi “hijau” (Green Economy). UNEP mendefinisikan green economy as one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities. Dengan kata lain prinsip ekonomi hijau menitikbertakan pada rendah karbon, efisiensi sumber daya alam dan inklusifitas sosial.

     Beberapa cara yang dapat dilakakukan dalam pengelolaan HoB agar tidak “berbenturan” dengan program pembangunan ekonomi utama di Pulau Kalimantan pada MP3EI, yaitu (i) Memetakan wilayah-wilayah yang rentan (Vulnerable Regions) di Pulau Kalimantan dari hasil tampalan antara wilayah utama produksi hasil tambang pada MP3EI dengan wilayah HoB; (ii) Memasifkan penggunaan kelapa sawit ramah lingkungan (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO); dan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK).

     Dalam memetakan vulnerable regions khususnya di wilayah HoB, hal penting yang perlu di tampalkan, yakni sebaran wilayah potensi kandungan hasil tambang yang berada di kawasan HoB, seperti batu bara dan bauksit dengan wilayah keseluruhan HoB. Sehingga akan didapatkan daerah-daerah yang rentan (vulnerable regions) dalam penanganannya. Sehingga daerah-daerah tersebut perlu mendapatkan perhatian “khusus” (kebijakan/regulasi, land treatment, pembangunan infrastruktur, dll) agar tidak terjadinya tarik ulur antar kepentingan, khususnya beralih fungsinya kawasan konservasi menjadi wilayah pertambangan (degradasi lingkungan). Sedangkan dalam pemanfaatan ISPO, perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit perlu mendapatkan sertifikasi ISPO yakni berupa penilaianuntuk menentukan kriteria kelas kebun. Kebun yang sudah dinilai akan mendapat kriteria kelas I, II,III dan IV sesuai hasil dari pelaksanaan penilaian. Dalam pelaksanaan penilaian usaha perkebunan bukan hanya pada fisik kebun semata, tetapi juga lingkungan, SDM, manajemen usaha, kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar.

Image

     Sedangkan dalam pemanfaatan SVLK, kayu disebut legal jika kebenaran asal kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtangannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Kemhut, 2013). Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia . Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dikembangkan untuk mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal. Sistem verifikasi legalitas kayu diterapkan di HoB untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia/dunia memiliki status legalitas yang meyakinkan.Sertifikasi kayu merupakan salah satu unsur penting untuk mendorong praktik hutan lestari. Sebab, melalui label yang tertera dalam setiap produk akhir akan memudahkan siapa saja memeriksa sumber kayu yang menjadi bahan mentahnya. Sehingga pencegahan pembalakan liar di kawasan HoB akan dapat dicegah sedini mungkin.Sehingga demikian, pembangunan ekonomi di Pulau Kalimantan khususnya serta kelestarian kawasan HoB dapat bersinergis.

     Prinsip dasar/ prasyarat keberhasilan implementasi ekonomi hijau dalam pengelolaan pembangunan hijau di kawasan HoB, antara lain (WWF, 2013):

– Transformasi pasar menuju komoditas kehutanan dan perkebunan lestari, serta   pertambangan yang bertanggung jawab melalui penerapan perolehan prinsip-prinsip  Better Management Practices (BMP).

– Infrastruktur yang tidak menyebabkan  irreversible impact terhadap lingkungan.

– “Green enterpreuneurship” (kewirausahaan yang menerapkan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan).

– Mengarahkan pengembangan perkebunan, HTI dan infrastrukturnya pada kawasan  lahan-lahan terlantar.

– Izin dan perijinan mengacu kepada tata ruang, KLHS dan AMDAL.

– Panduan dan referensi pengeluaran izin yang berpihak kepada “ekonomi hijau”.

– Merealisasikan sistem jaringan jalan antara pusat pendukung jasa produksi, pusat produksi, pengembangan wilayah, dan jaringan sistem komunikasi dan informasi yang mengacu pada tata ruang yang berbasis ekosistem.

– Memastikan pengembangan kawasan produksi baru tidak mengganggu keutuhan ekosistem dan keanekaragaman hayati serta budaya masyarakat setempat. 

– Menghindarkan kawasan-kawasan konservasi dan ekosistem esensial dari konversi, dan dampak pembukaan wilayah.

– Mematuhi pengalokasian areal yang telah diatur dalam tataruang wilayah.

– Melakukan perlindungan kawasan-kawasan sumber air.

– Memanfaatkan sumber energi terbarukan.

 

Penutup

      AdanyaKawasan Heart of Borneo bagi Indonesia dapat mendatangkan “keuntungan” disatu sisi, tetapi juga dapat mangakibatkan “malapetaka” di sisi lainnya. Dilihat dari sisi keuntungan, Indonesia dapat berperan besar dalam mengurangi gas rumah kaca (pemanasan global) baik dalam cakupan nasional maupun internasional dan pelestarian alam (konservasi). Hal ini dikarenakan kawasan HoB merupakan salah satu kawasan “paru-paru” dunia yang terbesar setelah hutan amazon di Brazil. Sedangkan HoB dapat mengakibatkan “malapetaka” bagi Indonesia, jika semua pihak yang berkepentingan di wilayah tersebut tidak dapat mensinergiskan antara pembangunan ekonomi dengan kelestarian alam. Serta tidak dioptimalkannya konsep ekonomi “hijau” dalam memperlakukan kawasan HoB.

          Berbagai penjelasan umum terkait HoB maupun pengelolaannya yang disampaikan atas, merupakan suatu wujud untuk memahami upaya keberlanjutan lingkungan di Heart of Borneo. “Apabila kita salah dalam perencanaan, berarti kita merencanakan suatu kegagalan, dan sebaliknya, perencanaan yang matang adalah langkah awal keberhasilan”.

 

Referensi

Kelompok Kerja Nasional HoB Indonesia. 2009. Rencana Strategis dan Aksi Nasional Heart of Borneo. Jakarta: Sekretatiat HoB Indonesia. Penyelamatan Ekosistem Kalimantan dan Penerapan MP3EI. 2013. Jakarta: WWF Indonesia

Publikasi MP3EI. 2013. Jakarta: Kemenko Perekonomian RI

http://www.unep.org/greeneconomy/AboutGEI/WhatisGEI/tabid/29784/Default.aspx; Diakses pada tanggal 4 April 2014.

http://silk.dephut.go.id/index.php/info/vsvlk/3; Diakses pada tanggal 4 April 2014.

http://heartofborneo.or.id/id; Diakses pada tanggal 4 April 2014.

http://regional.kompas.com/read/2012/10/24/10560224/Heart.of.Borneo.Direncanakan.Tahun.2013; Diakses pada tanggal 4 April 2014.

http://kalimantan.menlh.go.id/; Diakses pada tanggal 4 April 2014.

http://green.kompasiana.com/penghijauan/2012/06/08/heart-of-borneo-jantung-kalimantan-terancam-%E2%80%9Cjantungan%E2%80%9D-468327.html; Diakses pada tanggal 4 April 2014.

http://www.mongabay.co.id/2013/12/02/pertambangan-di-jantung-borneo-produksi-batubara-indonesia/. Diakses pada tanggal 4 April 2014.

http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=39; Diakses pada tanggal 4 April 2014.

http://ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/12273; Diakses pada tanggal 4 April 2014.

http://www.wwf.or.id/?24120/kerjasama-wwf-ugm-kelola-kawasan-heart-of-borneo-disepakati; Diakses pada tanggal 4 April 2014

 

 

Mengenal Kawasan Ekonomi dan Strategis Nasional (Telaah Singkat KAPET dan KEK)

Mengenal Kawasan Ekonomi dan Strategis Nasional

(Telaah Singkat KAPET dan KEK)

 

Sejak pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), terlihat pemerintah semakin nyata dalam mempercepat dan melakukan pemerataan pembangunan ekonomi di Indonesia. Percepatan dan pembangunan ekonomi akan mempengaruhi langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan pembangunan suatu wilayah. Sebelum peraturan terkait KEK dikeluarkan, pemerintah sudah sejak lama berusaha melakukan tindakan serius dalam mempercepat dan melakukan pemerataan pembangunan di seluruh kawasan Indonesia.

Salah satu program pemerintah dahulu hingga saat ini yang terus berjalan dalam melakukan pemerataan pembangunan di Indonesia, yakni Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Untuk itu tulisan ini berupaya mengupas secara singkat tentang KAPET dan KEK serta perbedaan diantara program percepatan pembangunan ekonomi wilayah tersebut satu sama lain.

Sekilas KAPET

KAPET adalah wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memiliki potensi untuk cepat tumbuh, mempunyai sektor unggulan yang dapat mengerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya serta penetapan lokasi dan Badan Pengelolanya dilakukan melalui Keputusan Presiden (Bappenas, 2013). KAPET merupakan sebuah pendekatan dalam rangka menterpadukan potensi kawasan untuk mempercepat pembangunan dan pergerakan ekonomi melalui pengembangan sektor unggulan yang menjadi penggerak utama  (prime mover) kawasan yang bertumpu pada prakarsa daerah dan masyarakat, memiliki sumberdaya, posisi ke akses pasar, sektor unggulan dan memberikan dampak pertumbuhan pada wilayah sekitarnya. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 9 Tahun 1998 yang merupakan perubahan atas Keputusan Presiden (Keppres) No.89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.      

Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut, kemudian dikeluarkan Keputusan Presiden lainnya tentang penetapan lokasi KAPET, yaitu 14 KAPET, yang terdiri dari  12 KAPET di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan dua KAPET di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, kebijakan KAPET disempurnakan kembali melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 150 Tahun 2000. Keempat belas KAPET tersebut, yakni KAPET Biak, Batulicin, Sasamba, Sanggau (Khatulistiwa), Manado-Bitung, Mbay, Parepare, Seram, Bima, Palapas (Batui), Bukari, DAS Kakab, Natuna dan Sabang.

Image 

(Persebaran 13 Lokasi KAPET. Sumber: www.kapet.net)

 

*  KAPET Biak

KAPET  Biak ditetapkan melalui Keppres No. 10 Tahun 1998. Cakupan wilayah KAPET Biak terdiri dari Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire, Mimika, Manokwari, Bintunidan Teluk Wondama dengan keseluruhan luas wilayah sebesar 101.748,56 Km2. Kegiatan ekonomi yang sangat potensial dilakukan di kawasan ini, yakni pariwisata alam dan bahari, perikanan, pertambangan dan penggalian.

Posisi KAPET Biak cukup strategis dimana merupakan jalur penghubung ke Australian, Papua New Guinea, Negara-negara di Pasifik Selatan, Guam, Hawaii dan New Zealand. Kondisi KAPET Biak terletak di segitiga pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu Jepang- Australia- USA.

*  KAPET Batulicin

 KAPET Batulicin ditetapkan melalui Keppres  No. 11 Tahun 1998. Cakupan wilayah KAPET Batulicin meliputi seluruh wilayah administrasi Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan yang mempunyai luas wilayah 13.644 Km2. KAPET Batulicin menyimpan potensi sumber daya alam yang sangat besar yaitu berupa kegiatan pertambangan, kehutanan, pertanian, pariwisata dan perikanan.

Kegiatan yang dilakukan dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam yaitu dalam bentuk pendirian industri pulp playwood, semen dan minyak goreng. Selain itu juga telah dilakukan pengembangan kemitraan antara pengusaha menengah/besar dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam kegiatan moulding, briket, meubeler, batako, dan lain-lainnya. Untuk menunjang percepatan pengembangan kawasan, telah ditetapkan 4 (empat) Kawasan Berikat yaitu : Batulicin, Kelumpang/Tarjun, Pulau Laut/Lontar dan Pulau Sebuku. Selain itu KAPET Batulicin termasuk dalam wilayah kerjasama regional negara-negara ASEAN yang tergabung dalam “Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philipina East ASEAN Growth Area “ (BIMP-EAGA).

*  KAPET Sasamba

KAPET Sasamba ditetapkan melalui Keppres  No. 12 Tahun 1998. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sasamba, Provinsi Kalimantan Timur mencakup  Kawasan Kota Samarinda- Sangasanga- Muarajawa- Balikpapan dengan luas wilayah ± 4.413 Km2 . KAPET Sasamba termasuk dalam wilayah kerjasama regional negara-negara ASEAN, yang tergabung dalam “BruneiDarussalam-Indonesia-Malaysia-Philipina East ASEAN Growth Area” (BIMP-EAGA).

 Lokasi KAPET Sasamba berbatasan langsung dengan negara-negara tersebut, membuat posisi KAPET Sasamba menjadi lebih strategis karena berada digaris terdepan. Bidang-bidang yang dikembangkan dalam kerjasama bilateral tersebut meliputi sektor-sektor produktif seperti Agroindustri berbasis sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan, sektor pabrikasi yang berbasis sumberdaya alam, serta sektor kepariwisataan.

*  KAPET Sanggau (Khatulistiwa)

KAPET Sanggau ditetapkan melalui Keppres  No. 13 Tahun 1998. Berdasarkan SK Gubernur No. 188 Tahun 2002 KAPET Sanggau dirubah menjadi KAPET Khatulistiwa dengan luas wilayah 53.545 Km2. Cakupan wilayah KAPET Khatulistiwa meliputi Kota Singkawang- Kabupaten Bengkayang- Kabupaten Sambas- Kabupaten Sanggau- Kabupaten Sintang- Kabupaten Landak- Kabupaten Kapuas Hulu.

Wilayah KAPET Khatulistiwa berbatasan langsung dengan Sarawak- Malaysia. Selain itu posisinya terletak pada jalur pelayaran internasional sea lane of communication (SLOC) yaitu Selat Karimata, Laut China Selatan serta Laut Jawa.  Posisi yang strategis tersebut telah menempatkan KAPET Khatulistiwa pada berbagai bentuk kerjasama ekonomi sub regional, baik bilateral maupun multilateral. Wadah formal hubungan kerjasama antara KAPET Khatulistiwa dengan berbagai negara antara lain adalah “Sosek Malindo”, “Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philipina East ASEAN Growth Area (BIMP – EAGA)” , “Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT)” dan AIDA.

*  KAPET Manado-Bitung

KAPET Manado-Bitung ditetapkan melalui Keppres No. 14 Tahun 1998 dengan luas wilayah 2.012,07 Km2. Cakupan wilayah KAPET Manado-Bitung meliputi wilayah Kotamadya Bitung, wilayah Kotamadya Manado, dan sebagian wilayah Kabupaten Minahasa.

Potensi yang dimiliki oleh KAPET Manado-Bitung yaitu lokasi strategis yang terletak di jalur pelayaran internasional (ALKI III) yang menghubungkan negara-negara di Asia-Pasifik. Negara-negara tersebut berpeluang menjadi pasar yang besar bagi KAPET dan lalu lintas transportasi menuju Kawasan Timur Indonesia serta cakupan wilayah kerjasama regional antar negara ASEAN yaitu tergabung dalam “Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia – Philipina East ASEAN Growth Area (BIMP – EAGA)” yang merupakan bentuk kerjasama bilateral negara-negara ASEAN untuk wilayah bagian timur.

*  KAPET Mbay

KAPET Mbay berdiri pada tanggal 19 Januari 1998, dimana lokasi KAPET Mbay berada di Kabupaten Ngada , Provinsi Nusa Tenggara Timur. ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Mbay melalui Keppres nNo. 15 Tahun 1998.

Cakupan wilayah KAPET Mbay meliputi satu Kabupaten, yaitu Kabupaten Ngada dengan pusatnya di Mbay dengan luasan 3.040 Km2. Posisi KAPET Mbay memiliki peran strategis dalam rangka pengembangan Provinsi Nusa Tenggara Timur, terutama untuk meningkatkan hubungan dengan Kawasan Timur Indonesia bagian utara dan Kawasan Asia-Pasifik melalui Australia Utara dan Barat. Dalam hal ini KAPET Mbay termasuk dalam wilayah kerjasama bilateral “Australia – Indonesia Development Area” (AIDA).

 

*  KAPET Parepare

 KAPET Parepare ditetapkan melalui Keppres No. 164 Tahun 1998 dengan luas wilayah 6.905,081 Km2. Cakupan wilayah KAPET Parepare yang berada di dalam Provinsi Sulawesi Selatan meliputi Kota Parepare, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Kabupaten Pinrang, Kabupaten Enrekang, dan Kabupaten Barru.

KAPET Parepare diharapkan berfungsi sebagai pusat produksi dan industri pengolahan,dimana kota Parepare sebagai pusat jasa dan perdagangan akan mendorong kegiatan ekonomi dan agroindustri di wilayah belakangnya (hinterland).KAPET Parepare termasuk dalam wilayah kerjasama regional negara-negara ASEAN yang tergabung dalam “Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia – Philipina East Asean Growth Area (BIMP – EAGA)” yang merupakan bentuk kerjasama bilateral negara-negara ASEAN untuk wilayah bagian timur.

*  KAPET Seram

 KAPET Seram ditetapkan melalui Keppres No. 165 Tahun 1998 dengan luas wilayah 18.625 Km2. Cakupan wilayah KAPET Seram yang berada di Provinsi Maluku meliputi Kecamatan Seram Barat, Tanwel, Kairatu, Teon Nila Serua (TNS), Kecamatan, Seram Utara, Tehoru, Bula, Werinama, Seram Timur.

KAPET Seram terletak dekat dengan Ambon sebagai pintu gerbang provinsi, yang berhubungan langsung dengan Makassar sebagai pusat pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia. Potensi yang dimiliki KAPET Seram meliputi sektor pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan pariwisata. Dalam konteks kerjasama ekonomi internasional, KAPET Seram termasuk dalam wilayah kerjasama ekonomi sub-regional Australia-Indonesia Development Area (AIDA) dan Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia- Philipina East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA).

*  KAPET Bima

KAPET Bima ditetapkan melalui Keppres No. 166 Tahun 1998 dengan luas wilayah 6.921, 45 Km2. Cakupan wilayah KAPET Bima terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang meliputi Kabupaten Bima (Kecamatan Rasanae Timur, Rasanae Barat, Belo, Woha, Monta, Bolo, Wawo, Wera, Sape, Donggo dan Sanggar) dan Kabupaten Dompu (Kecamatan Dompu, Hu’u, Woja, Kempo, Kilo dan Pekat).

KAPET Bima mempunyai posisi strategis, ditinjau dari konteks perdagangan merupakan pintu keluar dan masuk barang dan jasa ke Kawasan Indonesia Barat (KIB) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Jika dilihat dari konteks Pariwisata, terletak diantara segitiga emas. Disebelah barat daerah kunjungan wisata Internasional Pulau Bali, disebelah utara Tanah Toraja, dan disebelah timur Pulau Komodo serta Lakey Hu’u merupakan ajang kegiatan selancar bertaraf Internasional. Selain itu KAPET Bima termasuk wilayah kerjasama ekonomi regional “Australia – Indonesia Development Area (AIDA)”. 

*  KAPET Palapas (Batui)

 KAPET Palapas (Batui) berlokasi di Provinsi Sulawesi Tengah yang ditetapkan melalui Keppres No. 167 Tahun 1998 dengan luas wilayah 21.926,90 Km2. KAPET Palapas dahulu bernama KAPET Batui, dengan cakupan wilayah Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Parigi Moutong.

*  KAPET Bukari

KAPET Bukari ( Bank Sejahtera Sultra) yang berlokasi di Provinsi Sulawesi Tenggara ditetapkan melalui Keppres No. 168 Tahun 1998 dengan luas wilayah 4.950 Km2. Cakupan wilayah KAPET Bukari meliputi Kabupaten Buton, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kendari dan Kabupaten Muna. Tahun 2009, KAPET Bukari mengalami perubahan nama, lokasi dan cakupan wilayah. Saat ini KAPET Bukari bernama KAPET Bank Sejahtera Sultra dengan cakupan wilayah Kota Kendari, Kabupaten Kolaka, dan Kabupaten Konawe.

Dalam konteks ASEAN, KAPET Bukari masuk dalam wilayah kerjasama regional yang tergabung dalam “Brunei Darusallam – Indonesia – Malaysia – Philipina East ASEAN Growth Area (BIMP – EAGA)”, yang merupakan bentuk kerjasama bilateral negara-negara ASEAN untuk wilayah bagian timur.

*  KAPET DAS Kakab

KAPET DAS KAKAB ditetapkan melalui Keppres No. 170 Tahun 1998 dengan luas wilayah 236,73 Km2. Cakupan wilayah KAPET DAS KAKAB meliputi Daerah Aliran Sungai Kahayan Kapuan dan Barito-meliputi Kota Palangkaraya, Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Kapuas. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) DAS KAKAB atau Daerah Aliran Sungai Kahayan-Kapuas-Barito terletak di Provinsi Kalimantah Tengah meliputi wilayah Kota Palangkaraya (Ibukota Provinsi), Kabupaten Barito Selatan, Pulang Pisau dan Kapuas.

Kawasan ini berada pada tiga daerah aliran sungai yaitu Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito. Sungai-sungai yang ada pada kawasan ini dimanfaatkan pula sebagai sarana transportasi air, sumber mata pencaharian penduduk dan penunjang kegiatan perikanan. Dari total luas wilayah tersebut, yang berpotensi untuk dikembangkan adalah budidaya pertanian tanaman pangan, Perkebunan dan holtikultura serta perikanan

*  KAPET Sabang

KAPET Sabang ditetapkan melalui Keppres No. 171 Tahun 1998 yang mencakup Pulau Weh dan Pulo Aceh. Berdasarkan Surat Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 193/30591 tanggal 2 September 2001, KAPET Sabang dirubah menjadi “KAPET Bandar Aceh Darussalam” dengan luas wilayah 55.390 Km2. Cakupan wilayah KAPET Bandar Aceh Darussalam meliputi Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, dan Kabupaten Pidie dengan hinterland Wilayah Tengah dan Barat/Selatan Aceh yang telah dihubungkan dengan berfungsinya jaringan jalan dari pantai Barat/Selatan melalui Wilayah Tengah ke Pantai Timur Aceh.

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Bandar Aceh Darussalam terletak di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, dan merupakan salah satu KAPET yang berada di Kawasan Barat Indonesia selain KAPET Natuna. Wilayah KAPET Bandar Aceh Darussalam meliputi Banda Aceh, Lhok Nga, Peukan Bada, Kota Baro, Seulimum, Darussalam, Aceh Besar, Padang Tiji, Muara Tiga, Batee, Kota Sigli dan Pidie. Peluang investasi yang dimiliki oleh KAPET Bandar Aceh Darussalam antara lain sektor perikanan, peternakan, pertambangan, industri dan pariwisata. KAPET Bandar Aceh Darussalam terletak pada kawasan yang sangat strategis karena berada dipintu masuk jalur perdagangan dunia yang paling sibuk yaitu Selat Malaka. Dalam konteks ASEAN, KAPET Bandar Aceh Darussalam termasuk dalam wilayah kerjasama regional negara-negara ASEAN yang tergabung dalam kerjasama bilateral Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).

*  KAPET Natuna

KAPET Natuna ditetapkan melalui Keppres No. 71 Tahun 1996 dan diperbarui dengan Keppres No.17 Tahun 1999. Luas Pulau Natuna 172.000 Ha. Lokasi geografis KAPET Natuna sangat strategis dimana terletak di sekitar Laut Cina Selatan dan Selat Malaka yang berbatasan laut langsung dengan Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Kamboja. Beberapa indikasi kegiatan prospektif yang dapat dikembangkan dalam KAPET Pulau Natuna , antara lain industri perikanan Terpadu (perikanan tangkap & budi daya laut, ), industri pariwisata (khususnya wisata bahari), perkebunan & pertanian pusat jasa maritim dan offshore supply base, proyek gas & jaringan pipa, kawasan industri berbasis gas, kilang minyak dan pusat distribusi BBM, jasa lokasi latihan militer dan pada gilirannya pusat perdagangan dan jasa. KAPET Natuna juga termasuk dalam wilayah cakupan kerjasama subregional IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle).

Sekilas KEK

                Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan  Undang-Undang No. 39 Tahun 2009. KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fungsi KEK adalah melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata dan bidang lain. Sesuai dengan hal tersebut, KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, antara lain Zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk ekspor dan untuk dalam negeri.

Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung  dan perumahan bagi pekerja. Di  dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah  (UMKM), dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK. Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus memenuhi kriteria: a) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung;     b) pemerintah  Provinsi/Kabupaten/Kota  yang bersangkutan mendukung KEK; c) terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan internasional atau dekat dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah potensi sumber daya unggulan; dan d) mempunyai batas yang jelas.

                Hingga tahun 2013, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebanyak 2 kawasan, yakni Tanjung Lesung dan Sei Mangke serta 6 usulan kawasan yang akan dijadikan KEK hingga akhir tahun 2014, yaitu Palu, Morotai, Mandalika, Kutai Timur, Bitung dan Tuban.

*  KEK Tanjung Lesung

Secara administrasi Tanjung Lesung merupakan desa di Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang,

Provinsi Banten. Kawasan pariwisata Tanjung Lesung merupakan kawasan khusus dan telah didukung melalui Perda No. 2 tahun 2002 tentang Pariwisata Tanjung Lesung, kawasan pariwisata terpadu dengan beberapa investor yang mengelola kawasan wisata Tanjung Lesung. Kawasan pariwisata Tanjung Lesung memiliki potensi dan yang menarik yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan daerah. Pantai Tanjung Lesung luasnya mencapai 150 ha dari 1500 ha luas wilayah perencanaan, memiliki keistimewaan berupa pasir putih yang lembut, angin sepoi-sepoi dengan ombak yang tidak terlalu besar, relatif aman untuk bermain jetski, snorkling, berperahu ataupun memancing, dengan panjang pantai yang hampir mencapai 15 km memberikan ruang keleluasaan yang cukup bagi para wisatawan untuk melakukan berbagai kegiatan wisata.

Sektor ekonomi andalan di kawasan Tanjung Lesung adalah pariwisata terutama wisata alam dan bahari. Berdasarkan hasil kajian studi kelayakan KEK Tanjung Lesung khusus bidang pariwisata di wilayah Banten Selatan (kecamatan Panimbang  –  kabupaten Pandeglang) ini, menunjukkan bahwa untuk membangun positioning  KEK Tanjung Lesung yang baru perlu dikembangkan  Unique Selling Proposition (USP) yang merupakan competitive advantage dari jasa layanan wisata di kawasan itu. 

 

*  KEK Sei Mangke

Lokasi KEK Sei Mangkei terletak di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara yang berada di areal

perkebunan kelapa sawit (raw material oriented) dekat ke pelabuhan Kuala Tanjung milik PT Inalum maupun PT Pelindo I serta adanya jalur kereta api  dari Gunung Bayu  –  stasiun pertanaan yang jaraknya dekat dengan kawasan industri Sei Mangkei.  Kegiatan utama di Sumatera,  termasuk di KEK Sei Mangkei adalah kelapa sawit yang memegang peranan penting sebagai penyuplai kelapa sawit di Indonesia dan dunia. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan di KEK Sei Mangkei yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi lokal, regional dan nasional yang memberikan kontribusi signifikan dalam penerimaan devisa dan penyerapan tenaga kerja.

KEK Sei Mangkei juga potensial untuk pengembangan tanaman karet dan industri pengolahan karet. KEK Sei Mangkei juga potensial bagi pengembangan sektor industri berbasis alumia. Sektor lain yang potensial di kembangkan di lokasi KEK Sei Mangkei adalah produksi singkong (manihot utillisima) yang juga disebut dengan ubi kayu atau ketela pohon. Etanol (bioetanol) juga merupakan produk yang dihasilkan di KEK  Sei Mangkei yang dapat digunakan secara langsung sebagai bahan bakar pengganti bensin (gasoline).

*  KEK Palu

KEK Palu yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah akan dikembangkan sektor-sektor yang memiliki potensi tinggi dengan fokus kepada komoditas unggulan sebagai peluang investasi. Sektor industri yang berpotensi berkembang, antara lain adalah:

  • Sektor pertambangan dan energi, antara lain: emas, nikel, galena, dan biji besi
  • Sektor agroindustri (pengolahan hasil pertanian kehutanan), antara lain kakao, kelapa, dan rotan.
  • Sektor  kelautan dan perikanan (pengolahan hasil kelautan), antara lain rumput laut, budidaya ikan air tawar, dan perikanan tangkap. 

 Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus ini dilandasi oleh nilai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki daerah melalui pembangunan kompetensi inti daerah berupa industri pengolahan hasil perkebunan (kakao, kelapa dan rotan) dan hasil budidaya laut (rumput laut) di kawasan tersebut.  Kawasan juga di tunjang oleh wilayah (hinterland) kabupaten-kabupaten sekitar dalam wilayah Sulawesi Tengah dan sebagian Sulawesi Barat.  Dengan demikian Kawasan Industri  ini  dirancang sebagai kawasan yang unik dan terfokus pada pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus yang membedakan dengan daerah industri lainnya.

*  KEK Morotai

Usulan KEK ini akan dikembangkan di Kabupaten Pulau Morotai yang terletak di bagian utara Provinsi Maluku Utara dan merupakan salah satu pulau paling utara di Indonesia. Kawasan ini ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pulau Morotai terletak pada posisi yang sangat strategis yakni dekat dengan jalur perdagangan internasional atau berhadapan dengan alur laut utama di Indonesia (ALKI 3) menuju Australia dan New Zeland. Secara geostrategis, Pulau Morotai berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik pintu gerbang ke Amerika, dekat ke Cina, Taiwan, Korea dan Jepang. Posisi geostrategis dan geografis Morotai berpeluang besar menjadi pintu gerbang dan Pusat Logistik  (Hub Port & Logistics Center) menuju Pasifik , Asia Timur, dan Australia & New Zealand dan menjadi sentra kegiatan perdagangan global dan sentra ekonomi baru di Indonesia bagian timur.

 Pada usulan KEK  ini, akan dikembangkan sektor pariwisata dan industri perikanan. Hal ini telah sesuai dengan peruntukan lahan yang ditetapkan dalam rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pulau Morotai untuk tahun 2010-2030. Dalam keseluruhan wilayah Kabupaten Pulau Morotai tersebut memang terdapat area hutan lindung, namun area tersebut tidak termasuk dalam wilayah yang akan diusulkan menjadi KEK. Adapun status penyelesaian Rancangan RTRW Kabupaten Pulau Morotai tahun 2010-2030 saat ini adalah telah mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri PU untuk kemudian ditetapkan dalam perda RTRW. Dalam Rencana Tata Ruang Nasional Pulau Morotai juga ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN). Kegiatan yang akan dikembangkan pada usulan KEK  ini adalah kegiatan pariwisata dan industri perikanan. Luas lahan yang akan diusulkan menjadi KEK adalah sekitar 15.000 Ha.

Pengembangan usulan KEK ini melalui 8 tahap. Tahap pertama yang akan dikembangkan adalah seluas 500 Ha. Tahap kedua seluas 1.500 Ha, tahap ketiga seluas 3000 Ha, tahap keempat seluas 1.600 Ha, tahap kelima seluas 1.500 Ha, tahap keenam seluas 1.500 Ha, tahap ketujuh seluas 1.500 Ha, dan tahap kedelapan seluas 1.600 Ha.  Peruntukan ruang untuk lokasi usulan KEK ini adalah untuk zona pariwisata, zona industri perikanan, zona pariwisata, zona pelabuhan, serta zona bisnis.

 

*  KEK Mandalika

Lokasi Kawasan Pariwisata  yang akan dikembangkan menjadi KEK ini terletak di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Lokasi Kawasan Pariwisata  ini  memiliki keunikan karena dikelilingi hutan lindung, terletak di teluk menghadap Samudera Indonesia dengan pantai yang indah, dan beberapa lokasi depan pantai dilindungi oleh coral reef sehingga kondisi laut cukup aman untuk berenang. Kawasan Pariwisata  ini memiliki luas 1.249,4 Ha dan akan dikembangkan sebagai suatu kawasan terpadu dengan konsep pengembangan berikut:

  1. Buffer Zone. Suatu daerah berfungsi pembatas antara daerah penghijauan yang dilestarikan dan daerah pengembangan. Aktifitas di daerah ini untuk lari, bersepeda, dan olahraga yang bersifat outdoor.
  2. Zona Pengembangan. Di zona ini untuk jalan, hotel, kegiatan komersil, golf, dan daerah   rekreasi lainnya.
  3. Zona Pantai. Daerah sepanjang pantai dengan jarak minimum 50 meter dari garis pantai   menjorok ke darat.
  4. Zona Eksklusif. Untuk memenuhi kebutuhan pasar kelas atas, berupa hotel berbintang 5,   sarana olah raga dan rekreasi lainnya.
  5. Zona Non Eksklusif. Untuk memenuhi kebutuhan pasar kelas atas, berupa hotel berbintang 3 dan 4, apartemen, sarana olah raga dan rekreasi lainnya.
  6. Zona Peredam. Daerah penyekat zona eksklusif dan non eksklusif dan digunakan untuk  kegiatan komersial dan rekreasi yang berbeda, seperti cafe, shopping dan pool centre, play ground, culture centre, medical centre, dan golf club house

 

*  KEK Kutai Timur

Konsep pembangunan KEK  Kutai Timur  merupakan integrasi kawasan industri Oleochemical dan pelabuhan internasional Maloy (KIPI), Kawasan industri mineral  Trans kalimantan Economic Zone  (TKEZ), dan kawasan industri Kimia Batuta Coal Industri Port  (BCIP). Kawasan Ekonomi Khusus ini berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur dengan luas total mencapai 32.800 ha. Strategi pengembangan kawasan KEK 4 adalah mengembangkan industri eksisting yang berbasis pada pengembangan sektor pertambangan seperti minyak, gas, batubara dan CPO, serta membangun industri yang berbasis pertanian dengan pendekatan skala ekonomi dan klaster.

 

*  KEK Bitung

Lokasi Usulan KEK Bitung    terletak di Provinsi Sulawesi Utara yang berbatasan dengan laut Sulawesi. KEK Bitung menjadi alternatif pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus  di kawasan Indonesia bagian timur  karena daerah ini memiliki lokasi yang strategis dalam pengembangan kawasan ekonomi karena terletak pada alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang penting yaitu ALKI 2 (jalur laut intenasional, lewat selat Bali) dan ALKI 3 (jalur laut internasional, lewat laut Banda). Kondisi pelabuhan yang ada sangat menunjang KEK Bitung karena memiliki pelabuhan alam dengan kedalaman alur minimal 16 meter, memiliki panjang alur pelayaran 9 mil, lebar alur pelayaran 600 meter, luas kolam pelabuhan 4,32 ha, luas bufer area 500 ha, waktu operasi sepanjang musim dan draf kapal 22 – 32 meter.

Selain itu, pelabuhan ini juga memiliki pelabuhan kontainer dan pelabuhan perikanan, memiliki prasarana penunjang seperti jalan akses, listrik, air bersih dan telekomunikasi, memiliki keunggulan pada industri kelapa, perikanan beserta turunannya. Lokasi ini juga memiliki lokasi wisata bahari, wisata hutan, wisata agro, wisata budaya dan wisata religi.  Keberadaan  KEK  Bitung  akan membawa dampak besar bagi perkembangan perekonomian daerah, karena KEK Bitung memiliki kawasan ekonomi pendukung yaitu:

  • Kawasan pendukung Lolak – Labuhan Uki (Sektor perikanan)
  • Kawasan pendukung Rata totok- Lakban (Sektor Perikanan dan wisata bahari)
  • Kawasan pendukung Lirung – Melonguane (sektor perikanan dan wisata bahari)
  • Kawasan pendukung Tahuna – Petta (sektor perikanan dan wisata bahari)
  • Kawasan pendukung Amurang (sektor perikanan dan kelapa)
  • Kawasan pendukung Tomohon (sektor florikultur dan agrowisata)
  • Kawasan pendukung Likupang (sektor perikanan dan wisata bahari)

Potensi pengembangan sektor-sektor unggulan di KEK Bitung, yakni minyak kelapa, tepung kelapa, kopra, bungkil kopra, arang tempurung, karbon aktif, ikan kaleng, ikan beku, ikan segar, ikan kayu, biji pala, fuli, panili.

*  KEK Tuban

 Lokasi KEK Tuban  terletak di Provinsi Jawa Timur dan berada  di wilayah pantai utara Jawa. KEK Tuban diusulkan oleh badan pengusul yang bergerak di bidang industri pengolahan dan perdagangan produk-produk petroleum dan petrokimia dan direncanakan  akan mengelola lahan seluas 1.000 Ha untuk dikembangkan menjadi KEK. KEK  Tuban  akan membangun Proyek Pionir berupa Proyek Isomerisasi  yang  akan memproses  Light Naphta untuk menghasilkan  produk BBM berupa Migas dengan nilai oktan tinggi.  Tujuan dari proyek ini adalah untuk meningkatkan pasokan BBM di dalam negeri yang pada akhirnya akan mengurangi ketergantungan Indonesia akan impor BBM. 

Saat ini di dekat kawasan yang akan dikembangkan sudah ada terdapat beberapa perusahaan petrokimia yang merupakan satu-satunya kilang di Indonesia yang dapat mengolah kondensat untuk menghasilkan produk  petroleum berupa BBM, Light Naphtha, dan Off-gas, serta produk petrokimia berupa Paraxylene, Orthoxylene, Mixed-xylene, Benzene, dan Toluene. Produk-produk petrokimia tersebut merupakan bahan baku bagi perusahaan-perusahaan petrokimia hilir yang tersebar diberbagai lokasi di dalam maupun luar  negeri; dan   perusahaan petrokima tersebut merupakan salah satu perusahaan yang meningkatkan nilai tambah Off-gas yang dihasilkan untuk diubah menjadi LPG yang sangat dibutuhkan bagi konsumen dalam maupun luar negeri. 

Perbedaan KAPET dan KEK

Dalam fungsi dan program pembangunan wilayahnya, KAPET dan KEK memiliki perbedaan satu sama lain. Berikut perbedaan dari KAPET dan KEK:

 

Indikator

KAPET

KEK

Dasar Kebijakan

Keputusan Presiden No. 150

Tahun 2000

Undang-Undang No. 39

Tahun 2009.

Definisi

Wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memiliki potensi untuk cepat tumbuh dan mempunyai sektor unggulan yang dapatmengerakkan pertumbuhan

ekonomi wilayah dan sekitarnya dan/atau memerlukan dana investasi yang besar bagi

pengembangannya.

Kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum NKRI yang ditetapkanuntuk penyelenggaraan

fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu yang diberikan perlakuan khusus seperti dibebaskan dari kepabeanan, perpajakan, dan didukung infrastruktur.

Penetapan Kawasan

Ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.

Tujuan Pembentukan Kawasan

Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruwilayah Indonesia dengan memberikan peluang kepada dunia usaha agar mampu berperan serta dalam kegiatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang relatif tertinggal dan beberapa lainnya di Kawasan Barat Indonesia (KBI).

Mendorong investasi dan meningkatkan daya saing internasional, pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja dan penerimaan devisa.

Pengelola Kawasan (Kelembagaan)

1.  Badan Pengembangan diketuai Menko Perekonomian.

2.  Badan Pengelola diketuai Gubernur.

3.  Tim Teknis diketuai Menkimpraswil.

Penangguhan Bea Masuk tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22.

1. Dewan Nasional diketuai Menko Perekonomian.

2. Dewan Kawasan diketuai Gubernur.

3. Administrator

4. Badan Usaha

Fasilitas

Penangguhan Bea Masuk tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22.

1.  Fasilitas fiskal antara

lain: perpajakan, kepabeanan dan cukai; perdagangan;

pertanahan; keimigrasian; dan

ketenagakerjaan.

2.  Fasilitas non fiskal berupa kemudahan dan keringanan antara lain: bidang perizinan usaha; kegiatan usaha; perbankan; permodalan; perindustrian; perdagangan;

kepelabuhan dan keamanan.

Prinsip dan Syarat

1. Memiliki potensi untuk cepat tumbuh.

2. Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya.

3. Memiliki potensi pengembalian investasi yang besar.

4. Untuk mengembangkan KAPET sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, beberapa wilayah dalam

KAPET dapat ditetapkan sebagai Kawasan Berikat.

1.  Sesuai dengan RTRW dan tidak berpotensi mengganggu kawasan

lindung.

2.  Pemerintah

provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan

mendukung KEK.

3.  Terletak pada posisi yang

dekat dengan jalur perdagangan

internasional atau dekat dengan jalur pelayaran internasional di Indonesiaatau terletak pada wilayah potensi sumber daya unggulan.

4.  Mempunyai batas yang jelas.

5.  Terdiri atas satu atau beberapa zona pengolahan ekspor, logistik,  industri, pengembangan teknologi, pariwisata, energi, dan/atau ekonomi lain.

6.  KEK harus siap beroperasi dalam waktu paling lama 3 tahun sejakditetapkan.

7.  Mata uang rupiah

merupakan alat pembayaran yang sah di KEK.

Faktor-faktor Penyebab Keberhasilan atau Kegagalan Pengembangan Kawasan.

Permasalahan yang menyebabkan kegagalan KAPET diantaranya:

1.  Kurangnya peran kelembagaan pengeloladan pelaksana.

2.  Kebijakan insentif fiskal yang diberikan pemerintah kurang menarik investor.

3.    Iklim investasi belum kondusif karena belum adanya kemudahan birokrasi.

4.  Terbatasnya aksessibilitas pendukung kelancaran pengembangan usaha, seperti infrastruktur yang belum memadai.

Pengembangan KEK dapat dikatakan berhasil apabila:

1.  Adanya komitmen yang kuat antara pemerintah daerah, kebijakan fiskal dan nonfiskal, serta infrastruktur dasar pada

kawasan.

2.  Pemilihan yang tepat dan

pengembangan yang optimal terhadap jenis komoditas yang

diunggulkan.

3.  Tersedianya infrastruktur

sesuai dengan kebutuhan kawasan.

4.  Segala bentuk peraturan,

hukum dan kemudahan birokrasi dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan keinginan masyarakat internasional.

Sumber: Kajian Penyelenggaraan Infrastruktur Bidang PU Untuk Mendorong Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus. Pusat Kajian Strategis Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum. 2012

Penutup

Dengan adanya program percepatan dan pemerataan pembangunan ekonomi-wilayah yang dijalankan oleh pemerintah pusat-daerah tersebut, diharapakan KAPET dan KEK dapat menjadi “trigger” di wilayah sekitarnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan dapat menjadi elemen pendukung pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dengan kata lain, diharapkan pengembangan KAPET dan KEK dapat menterpadukan potensi kawasan untuk mempercepat pembangunan dan pergerakan ekonomi melalui pengembangan sektor unggulan yang menjadi penggerak utama kawasan bertumpu pada prakarsa daerah dan masyarakat, memiliki sumberdaya, posisi ke akses pasar, sektor unggulan dan memberikan dampak pertumbuhan pada wilayah sekitarnya. Dengan pengembangan KAPET dan KEK diarahkan dapat mendorong (sub)sektor unggulan masing-masing Koridor Ekonomi MP3EI. Dan juga pengembangan KAPET dan KEK dilakukan dengan peningkatan daya saing pada sektor hulu-hilir untuk memberikan nilai tambah dan pencitraan inovasi kepada komoditas yang dihasilkan untuk menciptakan spesialisasi hasil produksi.

KAPET dan KEK seyogyanya dapat saling mendukung dan melengkapi satu sama lain dalam mengembangkan dan melakukan pemerataan pembangunan ekonomi-wilayah di Indonesia sehingga dapat mewujudkan impian dan cita-cita “founding fathers”di dalam sila ke-5 Pancasila, yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesi”a dan pembukaan UUD 1945, yaitu “..memajukan kesejahteraan umum..”.

 

Referensi

Kajian Penyelenggaraan Infrastruktur Bidang PU Untuk Mendorong Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Pusat.

Kajian Strategis Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum. 2012.

Nota Dinas No.ND-28/D.IV.M.EKON.4/06/2013. Narasi Diskusi Permasalahan di Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET). 

Undang-Undang No.39 Tahun 2009.

www. kapet.net. Diakses pada 11 Juli 2013.

http://www.scribd.com/potensi-wisata-biak. Diakses pada 15 Juli 2013.

Indonesia Menuju Komunitas Ekonomi ASEAN 2015

Indonesia Menuju Komunitas Ekonomi ASEAN 2015

Oleh. Alvian Safrizal*

Kemenko Perekonomian RI

Sejak ditandatanganinya “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015”  oleh ke-10 pemimpin negara ASEAN pada KTT ke-12 di Cebu, Filipina tanggal 13 Januari 2007, disepakati percepatan pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) / Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Sejak saat itu, tampak pemerintah mulai berbenah diri dalam mempersiapkan Indonesia memasuki kerangka persaingan ekonomi MEA tersebut. Salah satu langkah terpenting dalam mempersiapkan Indonesia memasuki persaingan ekonomi dalam MEA, yakni hampir rampungnya cetak biru (blue print) MEA bagi Indonesia. Menurut Menteri Perdagangan , Gita Wirjawan, hingga akhir tahun 2012, implementasi cetak biru (blue print) MEA tingkat ASEAN telah mencapai 74,5% sedangkan Indonesia telah melebihi pencapaian ASEAN sendiri yakni sebesar 82%. Hal ini memposisikan implementasi blue print  Indonesia tertinggi ke-3 dibawah Singapura dan Malaysia.

Tidak terlepas dari hal tersebut, pemerintah telah banyak melakukan langkah-langkah guna mengurangi hambatan serta memperbesar peluang MEA bagi perekonomian Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, implementasi MEA jelas secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Untuk itu tulisan ini berupaya mengupas secara umum beberapa tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengantisipasi hambatan dan menangkap peluang dalam kerangka kompetisi ekonomi MEA yang akan mulai diterapkan pada tahun 2015.

Sekilas MEA

 Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) merupakan salah satu pilar utama dari 3 pilar integrasi negara-negara ASEAN. Dua pilar lainnya, yakni ASEAN Security Community (ASC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCM). Sesuai dengan cetak biru (blue print) MEA, prinsip utama dari MEA, yakni (i) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (ii) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce; (iii) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam); dan (iv) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi diluar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.

 Image

(Negara-Negara Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

Sumber: http://www.asean-community.au.edu/images/asean-map1-1.jpg )

 

Dengan kata lain prinsip utama dari MEA adalah adanya keterbukaan/openess, orientasi keluar/outward looking, inklusif /inclusive dan ekonomi pasar /market driven economy ( Hidayat, 2008). Lima komponen utama dalam proses pembentukan MEA, meliputi (i) aliran bebas barang-barang; (ii) aliran bebas jasa-jasa; (iii) aliran bebas investasi; (iv) aliran bebas modal; (v) aliran bebas untuk tenaga kerja terampil.

MEA (Hampir) Didepan Mata 

Kurang lebih dua tahun kedepan dari tahun ini, pasar tunggal MEA akan mulai diterapkan pada tahun 2015. Oleh karena itu, pemerintah telah banyak melakukan tindakan-tindakan yang berguna untuk mengurangi hambatan serta memperbesar peluang kerangka ekonomi MEA bagi perkembangan perekonomian Indonesia kedepannya.

Beberapa hambatan yang dialami oleh Indonesia dalam menghadapi MEA, antara lain kekurangan tenaga terampil yang terjadi saat ini, diperkirakan terus berlanjut hingga MEA dilaksanakan.  Jika MEA diterapkan, arus bebas tenaga kerja tidak bisa lagi dilarang. Indonesia kini hanya bisa mencukupi kurang dari 20% kebutuhan tenaga terampil (Benny Soetrisno, KADIN, 2013). Defisit tenaga terampil sudah berlangsung setidaknya selama 10 tahun terakhir. Jika MEA diberlakukan tanpa disertai kesiapan, daya saing Indonesia dicemaskan semakin turun. Selain dari itu, Badan Pusat Statistik juga mencatat bahwa sepanjang kuartal I  2013, nilai total perdagangan Indonesia dengan sembilan negara ASEAN lain adalah US$ 15,7 miliar dengan rincian US$ 7,63 miliar impor dan US$ 8,07 miliar ekspor. Neraca perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN mayoritas mengalami defisit. Indonesia-Brunei defisit 281,7 juta dollar AS, Indonesia-Malaysia defisit 511,3 juta dollar AS, Indonesia-Singapura defisit 707,9 juta AS, Indonesia-Thailand defisit 721,4 juta dollar AS serta Indonesia Vietnam defisit 157,5 juta dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus dengan  Indonesia Kamboja surplus 233,9 juta dollar AS, Laos 17,9 Juta Dollar AS, Myanmar 238,6 Juta Dollar AS dan Filipina 248,55 juta dollar AS.

Hambatan lain yang dihadapi Indonesia, yakni adalah menekan biaya logistik. Menurut survey logistics performance index Bank Dunia 2012, indonesia menempati peringkat ke-59 berada dibawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. biaya logistik yang tidak efisien seperti sekarang, bisa dipastikan produk dalam negeri akan kalah bersaing sehingga akan banyak produk dari luar negeri yang harus kita konsumsi. Menekan biaya logistik tidak cukup hanya dilakukan dari sisi pasokan (supply), tetapi juga dari permintaan (demand). Tingginya biaya logistik akibat infrastruktur logistik yang masih terbatas. Biaya logistik Indonesia sekitar 24,% dari pendapatan domestik bruto (PDB) dibandingkan biaya logistik negara-negara maju, di antaranya Amerika Serikat, Singapura, dan negara-negara Eropa, yang hanya berkisar pada angka delapan hingga 11 persen.

Tidak hanya itu, Berdasarkan World Bank Doing Business 2013, Indonesia memiliki indeks kemudahan berbisnis di nomor 128 dari 183 negara pada tahun 2012. Tahun 2013 dan 2014 merupakan tahun politik, di mana energi pemerintah seluruhnya terfokus kepada    penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang rencananya dimajukan pada tahun 2013 untuk kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2014, serta pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden (pilpres) pada tahun 2014. Sesuai data World Economic Forum (WEF) tahun 2012, saat ini tingkat produktivitas Indonesia berada pada peringkat 50 dari 144 negara. Pada aspek memulai bisnis, daya saing Indonesia berada di peringkat 155 dari 183 negara; aspek izin konstruksi berada di posisi 71; pasokan listrik (ketersediaan energi) pada peringkat 161; aspek perlindungan investasi posisi 46 negara;  serta aspek kemudahan berbisnis pada peringkat 129.

Selain berbagai hambatan tersebut, Indonesia dapat mengambil peluang besar dari diterapkannya MEA pada tahun 2015. Beberapa Peluang yang dapat Indonesia manfaatkan dari MEA, antara lain dari segi demografis. Posisi Indonesia dalam ASEAN cukup strategis dimana 43 % dari penduduk ASEAN yang sekarang mencapai 600 juta jiwa adalah penduduk Indonesia, dan secara geografis 53% wilayah ASEAN merupakan wilayah Indonesia.

Beberapa peluang lain yang dapat dimanfatkan oleh Indonesia dalam MEA antara lain kesempatan untuk penciptaan pasar-pasar baru. Kalau tidak, justru di komunitas ini Indonesia hanya akan menjadi pasar berbagai produk impor dan berdampak negatif bagi produk dalam negeri. Dalam peluang bagi perbankan Indonesia, yaitu penetrasi perbankan yang masih rendah, pertumbuhan masyarakat kelas menengah, perbankan tanpa kantor cabang serta strategi bank mengikuti sumber dana perdagangan. Tumbuhnya masyarakat kelas menengah memberikan peluang bagi layanan bisnis konsumer. Per November 2012, kredit perbankan sebesar Rp 2.647 Triliun adapun dana pihak ketiga sebesar Rp 3.130 Triliun.

Dalam segi daya saing,  pada tahun 2013, daya saing Indonesia naik dibandingkan tahun sebelumnya dari 42 ke 39 dalam daftar World Competitiveness Rankings 2013. Dibandingkan negara ASEAN lain, Filipina 38, Singapura 5, Malaysia 15 dan Thailand 27. Namun dibandingkan negara BRICS, posisi Indonesia lebih baik kecuali Cina 21, Berazil 51, Rusia 42, India 40 dan Afrika Selatan 53.

Menyikapi hambatan dan peluang tersebut, beberapa tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini, yakni memprioritaskan sembilan sektor industri untuk dikembangkan dalam rangka mengisi pasar ASEAN menjelang MEA 2015 (Kementerian Perindustrian, 2013). Sembilan sektor industri yang dikembangkan adalah industri berbasis agro seperti CPO, kakao dan karet. Kemudian industri olahan ikan, TPT, alas kaki, kulit dan barang kulut, industri furniture, industri makanan dan minuman, industri pupuk dan petrokimia, mesin dan peralatannya serta industri logam dasar. Industri itu diprioritaskan untuk dikembangkan karena memiliki daya saing yang relatif lebih baik dan unggul dibandingkan negara lainnya di kawasan.

Selain itu, untuk mengamankan pasar dalam negeri terhadap masuknya produk sejenis dari negara ASEAN lainya, pemerintah berupaya  meningkatkan daya saing produk di tujuh sektor industri lainnya. Ketujuh sektor industri untuk mengamankan pasar adalah industri otomotif, elektronik, semen, pakaian jadi, alas kaki, makanan dan minuman serta furniture. Untuk sektor industri prioritas dan industri pengamanan pasar itu perlu disiapkan program dan kebijakan untuk mendorong peningkatan daya saing masing-masing industri tersebut. Langkah lain yang telah dilakukan oleh pemerintah, yakni optimalisasi dan sosialisasi MEA kepada stakeholder industri, mengusulkan percepatan pemberlakuan safeguard dan anti dumping bagi produk impor, menambah fasilitas laboratorium uji dan meningkatkan kompetensi SDM industri.  Selain itu penyusunan standar kompetensi kerja nasional pada masing-masih sektor industri serta penguatan Industri Kecil Menengah (IKM) dan pengembangan wira usaha baru industri.

Penutup

Dari berbagai penjelasan hambatan dan peluang serta tindakan yang telah diambil oleh pemerintah dari pemberlakuan MEA pada tahun 2015 diatas, beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain (i) melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri melalui regulasi non tarif; (ii) menerapkan bea masuk tinggi terhadap produk asing; dan (iii) sinergi antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha dan masyarakat diperlukan untuk memperkuat produksi dalam negeri. Sehingga Indonesia dalam MEA  tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain serta dapat berkompetisi dengan negara ASEAN lainnya , dan yang paling utama dapat menjadi “tuan” di “rumah”nya sendiri.

*Penulis berterima kasih atas proof-read  Dr.Raldi Hendro Koestoer, M.Sc; namun segala kesalahan penulisan merupakan tanggung jawab penulis sendiri. E-mail: al.rizal2011@gmail.com

Referensi

Hidayat, Agus Syarip. 2008. ASEAN Economic Community: Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia. Jakarta: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan LIPI.

http://tekno.kompas.com/read/2012/11/19/09002886/masyarakat.ekonomi.asean.hampir.final. Diakses pada 8 Juli 2013.

http://www.tribunnews.com/2012/06/15/peringkat-logistic-performance-index-ri-2012-melonjak. Diakses pada 8 Juli 2013.

http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/indonesia/. Diakses pada 8 Juli 2013.

http://www.weforum.org/reports.Diakses pada 8 Juli 2013.

http://www.weforum.org/reports/global-competitiveness-report-2012-2013. Diakses pada 8 Juli 2013.

http://www.antaranews.com/berita/378968/indonesia-prioritaskan-sembilan-industri-isi-pasar-asean. Diakses pada 8 Juli 2013.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/04/24/16042416/Produk.Asing.Menyerbu.Apa.Tindakan.Menperin. Diakses pada 8 Juli 2013. 

http://jakarta.okezone.com/read/2013/05/01/320/800604/kadin-pemerintah-juga-harus-dengar-pengusaha. Diakses pada 8 Juli 2013.

AEC (HAMPIR) DI DEPAN MATA

Salah satu hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-21 pada tanggal 15- 20 November 2012 di Kota Phnom Penh, Kamboja yaitu ditetapkannya target implementasi ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN per tanggal 31 Desember 2015. Melalui AEC, integrasi sektor usaha akan dimulai pada tahun 2015, sedangkan bagi sektor keuangan, termasuk perbankan integrasi dilakukan mulai 2020.  AEC  merupakan hal yang berbeda dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic Community/EEC) karena lebih menjamin penyerahan keputusan kepada setiap negara anggota. AEC sebagai model integrasi ekonomi kawasan berbeda dengan EEC. Integrasi model EEC dilakukan dengan menyerahkan keputusan pada lembaga-lembaga yang dibentuk untuk menangani permasalahan ekonomi Eropa.  Dengan   demikian,    pembentukan lembaga Eropa tersebut membuat kedaulatan masing-masing negara dalam pembuatan keputusan menjadi lebih berkurang sedangkan integrasi model EAC tetap menjadikan negara anggota sebagai pengambil keputusan. Keputusan pada tingkat ASEAN dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan demikian, peran negara masing-masing anggota sebagai pengambil keputusan tetap dipertahankan. Salah satu langkah menuju proses implementasi EAC yakni disusunya cetak biru (blue print) EAC. Menurut Menteri Perdagangan , Gita Wirjawan, hingga akhir tahun 2012, implementasi cetak biru (blue print) AEC telah mencapai 74,5% sedangkan Indonesia telah melebihi pencapaian ASEAN sendiri yakni sebesar 82%. Hal ini memposisikan implementasi blue print Indonesia tertinggi ke-3 dibawah Singapura dan Malaysia.

Blueprint AEC memuat empat pilar utama, yaitu (i) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (ii) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce; (iii) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam); dan (iv) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi diluar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.

Jumlah penduduk ASEAN saat ini  enam 6% dari total populasi dunia, sedangkan pendapatan domestik bruto (PDB) negara-negara Asia Tenggara menyumbangkan 3% bagi perekonomian dunia. Diperkirakan pada tahun 2050,  jumlah penduduk ASEAN akan meningkat menjadi sembilan persen populasi dunia dan kemungkinan PDB meningkat lima persen dari perekonomian dunia (CSIS, 2013). Posisi Indonesia dalam ASEAN cukup strategis dimana 43 % dari penduduk ASEAN yang sekarang mencapai 600 juta jiwa adalah penduduk Indonesia, dan secara geografis 53% wilayah ASEAN merupakan wilayah Indonesia. Sehingga Indonesia harus harus dapat melihat dan menyongsong EAC dengan segala peluang dan tantangan serta segera mengambil tindakan akan EAC berdampak positif bagi Indonesia.

Beberapa peluang yang dapat dimanfatkan oleh Indonesia dalam EAC antara lain kesempatan untuk penciptaan pasar-pasar baru amat besar peluangnya. Kalau tidak, justru di komunitas ini Indonesia hanya akan menjadi pasar berbagai produk impor dan berdampak negatif bagi produk dalam negeri. Kesempatan bagi perbankan Indonesia yaitu penetrasi perbankan yang masih rendah, pertumbuhan masyarakat kelas menengah, perbankan tanpa kantor cabang serta strategi bank mengikuti sumber dana perdagangan. Adapun tantangan yang dihadapi perbankan adalah tingginya rasio pinjaman terhadap simpanan serta kebutuhan infrastruktur dan logistik perbankan. Tumbuhnya masyarakat kelas menengah memberikan peluang bagi layanan bisnis konsumer. Per November 2012, kredit perbankan sebesar Rp 2.647 Triliun adapun dana pihak ketiga sebesar Rp 3.130 Triliun. Tingkat daya saing ekonomi Indonesia pada tahun 2013 naik dibandingkan tahun sebelumnya dari 42 ke 39 dalam daftra world competitiveness Rankings 2013. Dibandingkan negara ASEAN lain, filipina 38, singapura 5, malaysia 15 dan thailand 27. Namun dibandingkan negara BRICS, posisi Indonesia lebih baik kecuali Cina 21, Berazil 51, Rusia 42, India 40 dan Afrika Selatan 53.

Tantangan yang Indonesia hadapi cukup berat dimana kompetisi dalam perekonomian diantara negara ASEAN satu sama lain cukup kuat satu sama lain. Beberapa hal yang menjadi tantangan Indonesia menghadapi AEC, yakni kekurangan tenaga terampil yang terjadi saat ini, diperkirakan terus berlanjut hingga AEC dilaksanakan.  Jika AEC diterapkan, arus bebas tenaga kerja tidak bisa lagi dilarang. Indonesia kini hanya bisa mencukupi kurang dari 20% kebutuhan tenaga terampil (Benny Soetrisno, KADIN, 2013). Defisit tenaga terampil sudah berlangsung setidaknya selama 10 tahun terakhir. Jika AEC diberlakukan tanpa disertai kesiapan, daya saing Indonesia dicemaskan semakin turun.

Badan Pusat Statistik juga mencatat bahwa sepanjang kuartal I  2013, nilai total perdagangan Indonesia dengan sembilan negara ASEAN lain adalah US$ 15,7 miliar dengan rincian US$ 7,63 miliar impor dan US$ 8,07 miliar ekspor. Neraca perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN mayoritas mengalami defisit. Indonesia-Brunei defisit 281,7 juta dollar AS, Indonesia-Malaysia defisit 511,3 juta dollar AS, Indonesia-Singapura defisit 707,9 juta AS, Indonesia-Thailand defisit 721,4 juta dollar AS serta Indonesia Vietnam defisit 157,5 juta dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus dengan  Indonesia Kamboja surplus 233,9 juta dollar AS, Laos 17,9 Juta Dollar AS, Myanmar 238,6 Juta Dollar AS dan Filipina 248,55 juta dollar AS.

Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam upaya meningkatkan daya saing adalah menekan biaya logistik. Menurut survey logistics performance index Bank Dunia 2012, indonesia menempati peringkat ke-59 berada dibawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. biaya logistik yang tidak efisien seperti sekarang, bisa dipastikan produk dalam negeri akan kalah bersaing sehingga akan banyak produk dari luar negeri yang harus kita konsumsi. Menekan biaya logistik tidak cukup hanya dilakukan dari sisi pasokan (supply), tetapi juga dari permintaan (demand). Tingginya biaya logistik akibat infrastruktur logistik yang masih terbatas. Biaya logistik Indonesia sekitar 24,% dari pendapatan domestik bruto (PDB) dibandingkan biaya logistik negara-negara maju, di antaranya Amerika Serikat, Singapura, dan negara-negara Eropa, yang hanya berkisar pada angka delapan hingga 11 persen.

Berdasarkan World Bank Doing Business 2013, Indonesia memiliki indeks kemudahan berbisnis di nomor 128 dari 183 negara pada tahun 2012. Tahun 2013 dan 2014 merupakan tahun politik, di mana energi pemerintah seluruhnya terfokus kepada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang rencananya dimajukan pada tahun 2013 untuk kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2014, serta pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden (pilpres) pada tahun 2014. Sesuai data World Economic Forum (WEF) tahun 2012, saat ini tingkat produktivitas Indonesia berada pada peringkat. Pada aspek memulai bisnis, daya saing Indonesia berada di peringkat 155 dari 183 negara; aspek izin konstruksi berada di posisi 71; pasokan listrik (ketersediaan energi) pada peringkat 161; aspek perlindungan investasi posisi 46 negara;  serta aspek kemudahan berbisnis pada peringkat 129.

Tindakan nyata yang telah pemerintah lakukan dalam menyongsong diterapkannya AEC serta hal yang perlu diperhatikan guna menjadikan AEC sebagai peluang besar yang positif bagi perekonomian dalam negeri, yakni penyempurnaan national single window dan penngkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur untuk  memfasilitasi perdagangan guna meningkatkan kelancaran arus barang dan jasa.

Pemerintah memprioritaskan sembilan sektor industri untuk dikembangkan dalam rangka mengisi pasar ASEAN menjelang AEC 2015 (Kementerian Perindustrian, 2013). Sembilan sektor industri yang dikembangkan adalah industri berbasis agro seperti CPO, kakao dan karet. Kemudian industri olahan ikan, TPT, alas kaki, kulit dan barang kulut, industri furniture, industri makanan dan minuman, industri pupuk dan petrokimia, mesin dan peralatannya serta industri logam dasar. Industri itu diprioritaskan untuk dikembangkan karena memiliki daya saing yang relatif lebih baik dan unggul dibandingkan negara lainnya di kawasan.

Selain itu, untuk mengamankan pasar dalam negeri terhadap masuknya produk sejenis dari negara ASEAN lainya, juga perlu ditingkatkan daya saing produk di tujuh sektor industri lainnya. Ketujuh sektor industri untuk mengamankan pasar adalah industri otomotif, elektronik, semen, pakaian jadi, alas kaki, makanan dan minuman serta furniture. Untuk sektor industri prioritas dan industri pengamanan pasar itu perlu disiapkan program dan kebijakan untuk mendorong peningkatan daya saing masing-masing industri tersebut.

Optimalisasi dan sosialisasi AEC kepada stakeholder industri, mengusulkan percepatan pemberlakuan safeguard dan anti dumping bagi produk impor, menambah fasilitas laboratorium uji dan meningkatkan kompetensi SDM industri.  Selain itu juga perlu penyusunan standar kompetensi kerja nasional pada masing-masih sektor industri serta penguatan Industri Kecil Menengah (IKM) dan pengembangan wira usaha baru industri. Pemerintah  hendaknya melakukan proteksi melalui non tarif, yakni regulasi non tarif, menerapkan bea masuk tinggi terhadap produk asing serta sinergi antara pemerintah, akademisi dan pelaku usaha diperlukan untuk memperkuat produksi dalam negeri sehingga Indonesia dalam AEC tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain, tetapi dapat menjadi “tuan” di “rumah”nya sendiri.

 RAN GRK dan Sawit Ramah Lingkungan

 RAN GRK dan Sawit Ramah Lingkungan

Oleh: Alvian Safrizal

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI

            Sejak regulasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dimunculkan pada tahun 2011, tampak pemerintah cenderung menjalankan program pembangunan secara “serius”. Strategi masing-masing sektor disinergikan dan merujuk pada target-target penurunan emisi GRK secara kuantitatif dan kualitatif. Hal tersebut diterakan secara nyata dalam Peraturan Presiden (P P) No.61 Tahun 2011. Tidak terlepas dari hal tersebut, implementasi terhadap penurunan emisi GRK dilakukan pada sektor perkebunan industri kelapa sawit; sementara dipahami bahwa kelapa sawit Indonesia pernah mengalami kesulitan untuk masuk ke pasar Amerika Serikat.

Untuk itu tulisan ini berupaya untuk mengupas secara umum regulasi pemerintah dalam penurunan emisi GRK dan implementasi upaya industri sawit ramah lingkungan.

Sekilas RAN GRK

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26 % pada tahun 2020 dari tingkat Business as Usual (BAU) dengan usaha sendiri dan mencapai 41 % apabila mendapat dukungan internasional. Hal ini telah disampaikan oleh Presiden Yudhoyono dalam pidatonya pada pertemuan G-20 pada tanggal 25 September 2005 di Pittsburg, USA. Implementasi dari komitmen tersebut yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (PP) No.61 Tahun 2011 tentang Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) pada tanggal 28 Oktober 2011 oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana. Upaya penurunan emisi GRK, selain pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian/Lembaga di tingkat pusat, juga dilakukan pula ditingkat daerah (propinsi) agar berkontribusi pula dalam pencapaian target nasional.

Kegiatan inti yang berdampak langsung pada penuruan emisi GRK dan penyerapan GRK, yakni:

Sektor Pertanian

Rencana aksi, yakni perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi; optimalisasi lahan; penerapan teknologi budidaya tanaman; pemanfaatan pupuk organik dan bio-pestisida; pengembangan areal perkebunan (sawit, karet, kakao) dilahan tidak berhutan/ lahan terlantar/ lahan terdegradasi/ areal penggunaan lain (APL); dan pemanfaatan kotoran/urine ternak & limbah pertanian untuk biogas.

Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut

Rencana aksi, yakni pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH); perencanaan pemanfaatan dan peningkatan usaha kawasan hutan; pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan; pengukuhan kawasan hutan; peningkatan,rehabilitasi, operasi& pemeliharaan jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan bergambut); pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan; pengembangan pengelolaan lahan pertanian di lahan gambut terlantar & terdegradasi untuk mendukung subsector perkebunan, peternakan & hortikultura; penyelenggaraan, rehabilitasi hutan & lahan & reklamasi hutan di DAS prioritas; pengembangan perhutanan sosial; pengendalian kebakaran hutan; penyidikan & pengamanan hutan; pengembangan kawasan konservasi, ekosistem esensial & pembinaan hutan lindung; dan peningkatan usaha hutan tanaman.

Energi dan Transportasi

Rencana aksi, yakni penerapan mandatori manajemen energy untuk pengguna padat Energi; penerapan program kemitraan konservasi energi; peningkatan efisiensiPeralatan rumah tangga; penyediaan & pengelolaan energy baru terbarukan & konservasi energi; pemanfaatn biogas; penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan; peningkatan sambungan rumah yang teraliri gas bumi melalui pipa; pembangunan kilang mini plant liquid petroleum gas (LPG); reklamasi lahan pasca tambang; pembangunan ITS (Inteligent Transport System) ; penerapan pengendalian dampak lalu lintas (Traffic Impact Control); penerapan manajemen parker; penerapan Congestion Charging and Road Pricing (dikombinasi dengan angkutan umum missal cepat); reformasi sistem transit Bus Rapid Transit (BRT)/ semi BRT; peremajaan armada angkutan umum; pemasangan Converter Kit (gasifikasi angkutan umum) ; pelatihan dan sosialisasi smart driving (eco-driving); membangun non motorized transport (pedestrian & jalur sepeda); pengembangan KA perkotaan Bandung; pembangunan double-double track (termasuk elektrifikasi); pengadaan kereta rel listrik baru; modifikasi kereta rel diesel menjadi kereta rel diesel elektrik; pembangunan mass rapid transportation Jakarta North-South tahap I dan Tahap II; pembangunan jalur kereta api bandara Soekarno-Hatta; pembangunan monorail Jakarta; dan pembangunan/peningkatan & preservasi jalan.

Industri

Rencana aksi, yakni penerapan modifikasi proses dan teknologi; konservasi & audit energy; dan penghapusan bahan perusak ozon.

Pengelolaan Limbah

Rencana aksi, yakni pembangunan sarana prasarana air limbah dengan sistem off-site & on-site; dan pembangunan tempat pemrosesan akhir (TPA) & pengelolaan sampah terpadu reduce, reuse and recycle (3R)

Berikut detail target penurunan emisi CO2e setiap sektor:

Image

(Sumber: PP No.61 Tahun 2011)

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia saat ini dalam kancah dunia sangat berperan dalam produksi kelapa sawit. Produk dibidang ini dalam susunan sektor-sektor target penurunan emisi karbon (GRK) bisa masuk dalam konteks industri (perkebunan). Menindaklanjuti antisipasi ke depan dalam hal global warming, pemerintah mulai menerapkan sistem pengelolaan kelapa sawit ramah lingkungan.

Hal ini tentu akan menjembatani antara target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai dirujuk pada RAN GRK, dan sistem pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan.

Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis sebagai penghasil devisa negara utama dari sektor non migas. Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas perkebunan, perkembangannya cukup pesat dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya terutama terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Hingga saat ini Indonesia bersama Malaysia menjadi negara pengekspor crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Seiring berjalannya waktu luas dan produksi kelapa sawit Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya dan ditargetkan akan semakin besar setiap tahunnya. Hingga tahun 2011, produksi kelapa sawit Indonesia dari perkebunan rakyat (PR) 8.797.924 Ton, perkebunan besar (PB) 4.168.064 Ton

Image

(Luas Kelapa Sawit Indonesia; dan Volume serta Nilai Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan)

 Dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit ternyata menimbulkan beberapa masalah.   Masalah tersebut antara lain di perkebunan kelapa sawit dan pada proses pembuangan limbah. Perluasan perkebunan  kelapa sawit yang sangat ekspansif ternyata membawa berbagai dampak positif dan negatif. Dari berbagai literatur dampat disimpulkan beberapa dampak negatif dari pengembangan kelapa sawit, antara lain:

1.  Penggunaan lahan gambut untuk perkebunan lahan sawit yang salah, ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pemanasan global.

2.  Hutan alam menjadi sangat monokultur. Hutan alam yang seharusnya menjadi sumber penangkap carbon menjadi berkurang kemampuannya dalam menangkap carbon yang dapat mempengaruhi pemanasan global (Efek Rumah Kaca).

3.  Terganggunya Keseimbangan ekologis.

Hilangnya berbagai flora dan fauna yang khas dan unik menyebabkan keseimbangan menjadi terganggu.

4.  Kebutuhan tanaman kelapa sawit yang sangat haus akan air tanah.

Beberapa dampak negatif inilah yang antara lain menjadi alasan berbagai pihak yang  menuding agroindustri kelapa sawit terutama pada saat pembukaan lahan baru sangat mempengaruhi pemanasan global. Selain dari itu, semakin maraknya kampanye “anti sawit” di negara-negara barat serta tindakan pemerintah di negara-negara maju yang “menghambat” penggunaan CPO maka pemerintah Indonesia sejak tahun 2012, mengeluarkan konsep kelapa sawit berkelanjutan yang lebih dikenal dengan akronim ISPO.

Dasar lain penetapan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan yakni adanya beberapa komitmen global dalam pemanfataan sawit berkelanjutan, seperti Rio Earth Summit 1992, Earth Summit +5 1997, World Summit on Sustainable Development 2002 di Johannesburg sera International Conference on Financing Development di Doha dan tuntutan dari para negara importir CPO di Eropa yang hanya akan membeli minyak kelapa sawit berkelanjutan mulai tahun 2015.

Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah merupakan Mandatori bagi seluruh perusahaan Perkebunan yang berdomisili di Indonesia. Oleh karena itu seluruh usaha perkebunan  yang ada harus melakukan ISPO , sehingga perusahaan harus punya sertifikasi tentang ISPO . Tujuan Ditetapkannya ISPO:

  • Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya memproduksi minyak sawit lestari.
  • Meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar Internasional
  • Mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK.
  • Mendukung  komitmen  unilateral pemerintah Indonesia di Kopenhagen (2009) dan Program Based Line on LOI Indonesia dan Norwegia (2010).
  • Memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi Indonesia.
  • Memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk  memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan sesuai tuntutan masyarakat global.
  • Mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup.

Ketetapan Hukum dari ISPO melalui Permentan No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Untuk mendapatkan sertifikasi ISPO perusahaan harus terlebih dahulu mendapat penilaian, untuk menentukan kriteria kelas kebun. Kebun yang sudah dinilai akan mendapat kriteria kelas I, II,III dan IV sesuai hasil dari pelaksanaan penilaian. Dalam pelaksanaan penilaian usaha perkebunan bukan hanya pada fisik kebun semata, tetapi juga lingkungan, SDM, manajemen usaha, kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar. Penilaian usaha perkebunan dilakukan oleh petugas penilai yang sudah mendapat pelatihan dari Lembaga Pelatihan Perkebunan (LPP) dan sudah mendapat sertifikat tentang penilain usaha perkebunan. Petugas penilai akan bertanggung jawab  secara teknis dan juridis terhadap hasil penilaiannya. Aspek yang dinilai dalam penilaian usaha perkebunan meliputi; legalitas, manajemen, kebun, pengolahan hasil, sosial, ekonomi wilayah, lingkungan, serta pelaporan. Hasil penilaian ini akan menentukan kelas kebun bagi kebun operasional yaitu, kebun kelas I (Baik sekali) kelas II (baik), Kelas III (sedang), Kelas IV (kurang) dan kelas V (kurang sama sekali). Ini semua ditentukan oleh nilai hasil penilaian yang dilaksanakan oleh penilai.

Penutup

Dengan dilaksanakannya aksi nyata pemerintah di sektor industri (perkebunan) dengan mengeluarkan peraturan produksi kelapa sawit yang ramah lingkungan merupakan salah satu upaya konkrit mewujudkan target penurunan emisi karbon yang tercantum dalam RAN GRK. Hingga tahun 2013 sudah terdapat sekitar 10 perusahaan pengelolaan kelapa sawit yang telah mendapat sertifikat ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) serta sekitar 15 perusahaan pengelolaan kelapa sawit yang sedang menjalankan proses audit oleh Kementerian Pertanian RI (Fadhil Hasan, Gapki 2013). Dengan terwujudnya kelapa sawit Indonesia yang ramah lingkungan maka negara kita telah mempersiapkan diri lebih dini dalam mengantisipasi pemanfaatan kelapa sawit yang ramah lingkungan yang akan  diberlakukan di negara-negara maju (Eropa dan USA) 2015. Sehingga industri kelapa sawit Indonesia pada masa depan tidak terganggu dan tidak menjadi penghambat bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia.

Perusahaan pengelolaan industri kelapa sawit yang telah mendapat sertifikat ISPO menandakan perusahaan telah memenuhi semua aspek legalitas termasuk tidak melanggar kawasan hutan, telah melakukan praktik terbaik di dalam mengelola operasionalnya, ramah lingkungan, mengelola pekerja dengan baik, ramah sosial, mensejahterakan masyarakat sekitar dan melakukan improvement secara terus menerus.

Referensi

Barani, Achmad Mangga. 2013. Pengalaman Implementasi ISPO. Jakarta: Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang Perekonomian.

Direktur Jenderal Perkebunan. 2013. Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia/ISPO Sebagai Mandatori Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Di Indonesia. Jakarta: Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang Perekonomian.

Hasan, Muhammad Fadhil. Mengikuti Perkembangan Implementasi ISPO. Jakarta: Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang Perekonomian.

Kurniawan, Wawan. 2011. Urgensi Pembangunan Agroindustri Kelapa Sawit Berkelanjutan Untuk Mengurangi Pemanasana Global. Jakarta: Jurnal Teknik Industri Universitas Trisakti.

Laporan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kepada Menko Perekonomian perihal satu tahun Perpres No.61/2011 tentang RAN-GRK. 29 November 2012.

Laporan Pelaksanaan RAN/RAD-GRK. Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Endang Murniningtyas. 26 Maret 2013.

Mulyani, Anny,dkk. 2003. Kesesuaian Lahan Untuk Kelapa Sawit Di Indonesia. Jakarta: Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.

Peraturan Presiden (PP) No.61/2011 tentang Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Kebijakan Pengendalian Banjir DKI Jakarta….,Solusi atau Masalah Baru??? (1)

Kebijakan Pengendalian Banjir DKI Jakata….,Solusi atu Masalah Baru??? (1)

Kebijakan pengendalian banjir di DKI Jakarta dibagi dalam kurun waktu jangka pendek, menengah dan panjang. Berikut pnjabaran dari hal tersebut:

1.      Jangka Pendek

  • Normalisasi Sungai dan Kali

Daerah Khusus DKI Jakarta dilalui oleh 13 sungai/kali yang pada umumnya berhulu di provinsi Jawa Barat. Ke-13 sungai/kali tersebut, yaitu: (i) Kali Mookervart, (ii) Kali Angke, (iii)  Kali Pesanggrahan, (iv)  Kali Grogol,(v) Kali Krukut, (vi) Kali Baru Barat, (vii) Kali Ciliwung, (viii) Kali Baru Timur, (ix) Kali Cipinang, (x) Kali Sunter, (xi) Kali Buaran, (xii) Kali Jati Kramat dan (xiii)Kali Cakung.

Sistem pewilayahan dalam pengendalian banjir di wilayah Jakarta, dibagi dalam tiga bagian yaitu : Barat, Tengah dan Timur(Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, 2009). Level penanganan banjir untuk tiap wilayah dibahas di bawah ini:

Wilayah Barat

Di wilayah barat mengalir 4 (empat) sungai dan 1 (satu) floodway yang nantinya bermuara di Pantai Utara Jakarta.

Image

Wilayah Tengah

Di wilayah tengah mengalir 4 (empat) sungai dan 1 (satu) floodway/banjir kanal yang nantinya bermuara di Pantai Utara Jakarta. 

Image

Wilayah Timur

Di wilayah timur mengalir 5 (empat) sungai dan 1 (satu) floodway/banjir kanal yang nantinya bermuara di Pantai Utara Jakarta.

Image

Banjir kanal timur akan menggabung sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat dan Cakung di catchment bagian hulu.

Dalam perkembangan pembangunan DKI Jakarta hingga saat ini sungai/kali banyak mengalami sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan kali/sungai sehingga kapasitas debit sungai saat ini hanya mampu menampung 20% dari debit banjir yang ada akibatnya dengan adanya penyempitan dan pendangkalan sungai menyebabkan sekitar 80% debit sungai menjadi banjir yang menggenangi permukiman

Serta pembangunan permukiman “kumuh” dan ilegal di wilayah bantaran kali/sungai yang tidak terkendali. Dengan Berdirinya Permukiman Di Sepanjang Bantaran Sungai/Kali Dipastikan Para Penghuninya Akan Berprilaku Membuang Sampah Ke Dalam Sungai sehingga akan cepat menyebabkan terjadinya pendangkalan atau sedimentasi di sungai sehingga tidak mampu menampung debit air secara maksimal serta terkadang merusak tanggul penahan luapan air dimana perilaku tersebut nantinya akan membahayakan lingkungan sekitar  mengakibatkan sungai tidak memiliki dinding penahan dan akan meluber jika banjir besar tiba.

Dari 13 sungai/kali yang mengalir di Jakarta, Ciliwung memiliki dampak yang paling luas ketika musim hujan karena ia mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman-pemukiman kumuh. Sungai ini paling parah mengalami perusakan dibandingkan sungai-sungai lain yang mengalir di Jakarta. Selain Karena daerah aliran sungai (DAS) dibagian hulu di Puncak dan Bogor yang rusak, DAS di Jakarta juga mengalami penyempitan dan pendangkalan yang mengakibatkan potensi penyebab banjir di Jakarta menjadi besar.

Sekitar 80 persen pencemaran di Sungai Ciliwung disebabkan oleh sampah rumah tangga atau limbah domestik. Pencemaran itu merupakan akibat dari rendahnya kesadaran masyarakat menjaga lingkungan. Sungai Ciliwung, yang seharusnya optimal menampung air hujan, kini telah kotor. Selain pencemaran dari sampah keluarga, terdapat sekitar 400 kegiatan usaha yang secara langsung maupun tidak membuang air limbahnya ke Ciliwung (Kemen LH, 2012). Tercatat 26.818 kepala keluarga (KK) yang menghuni bantaran Sungai Ciliwung. Hal itu menyebabkan terjadinya sedimentasi, penyempitan sungai, dan tingginya angka pencemaran di sungai tersebut.

  • Membangun dan normalisasi embug, situ, waduk polder dan sistem pengendali banjir serta pemeliharaannya.

DKI Jakarta memililki kurang lebih 16 buah situ dan 18 buah waduk buatan dengan luas keseluruhan waduk buatan 238,6 Ha dan luas keseluruhan situ buatan sebesar 140,6 Ha.

Berikut daftar situ dan waduk buatan di DKI Jakarta (Dinas Pertambangan DKI Jakarta & ITB, 1998):

Image

Berikut daftar situ dan waduk buatan di DKI Jakarta (Bapedalda DKI Jakarta 1998):

Image

Berdasarkan data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta (2008), jumlah situ-situ di DKI Jakarta tercatat sebanyak 40 buah. Situ yang berada di wilayah Jakarta Utara adalah sebanyak 12 situ dengan luas total 179,5 hektar. Di Jakarta Barat terdapat 2 buah situ dengan luas 5 hektar. Jakarta Pusat memiliki 3 situ dengan luas 7,4 hektar. Sebanyak 16 situ dengan luas 66,875 hektar terdapat di Jakarta Timur. Sedangkan di Jakarta Selatan terdapat 7 situ dengan luas 66,5 hektar. Dua belas situ tersebut merupakan situ buatan, sedangkan selebihnya yaitu 28 situ merupakan situ yang terbentuk secara alami.

Dari 40 situ yang terdapat di DKI Jakarta, lebih dari 50 % situ dalam kondisi yang buruk, atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Berdasarkan kondisi situ di DKI Jakarta seperti terlihat pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebanyak 19 situ (47,5%) dalam kondisi terawat, 14 situ (35%) dalam kondisi tidak terawat, dan 5 situ (12,5%) telah menjadi daratan. Situ Rawa Kendal, Situ Rorotan, Situ Rawa Penggilingan, Situ Rawa Segaran, dan Situ Dirgantara merupakan situ-situ di Jakarta yang telah berubah menjadi daratan.

(Kondisi Situ DKI Jakarta, BPLHD 2008)

 Image

 

 Pendangkalan dan pencemaran yang terjadi di danau merupakan indikator bahwa telah terjadi kerusakan pada situ tersebut. Pendangkalan terjadi akibat sedimentasi karena degradasi kondisi hutan di daerah tangkapan airnya (Naryanto dkk., 2009). Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya pemeliharaan danau/situ kerap menjadi penyebab pendangkalan. Misalnya anggapan masyarakat bahwa situ merupakan tempat penampungan sampah serta pembangunan bangunan liar di sekitar bantaran situ. Pendangkalan tersebut menyebabkan penurunan fungsi situ sebagai tempat penampung air. Sehingga dapat menyebabkan terjadinya banjir apabila situ tidak cukup untuk menampung air ketika hujan turun.

  • Membangun Sistem Pompa di Muara-> Pompa Ancol, Marina, Kamal Muara, Pluit sisi Tengah dan Barat

            Penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan air laut membuat banyak muara sungai berada di bawah permukaan laut.Pemasangan pompa air di muara sungai untuk membantu mengalirkan air ke laut. Perbedaan ketinggian membuat air sungai berbalik ke hulu dan menimbulkan banjir. Air di drainase sulit mengalir mengikuti gravitasi karena air di laut lebih tinggi daripada air di dalam drainase. Untuk mengatasi kondisi itu, Pemda DKI Jakarta akan menambah pintu air di muara sungai atau anak sungai yang langsung ke laut. Jika air laut pasang naik dan berada di atas permukaan sungai, pintu air akan ditutup. Untuk mengalirkan air, pompa-pompa dipasang agar air sungai dapat dibuang ke laut. Cara ini efektif untuk mencegah banjir saat pasang naik air laut.

  • Membangun Tanggul Pengaman Rob-> di Kamal Muara, Muara Baru, Kali Baru,Matradinata dan Muara Angke
  • Melaksanakan pengerukan sungai, waduk dan saluran -> Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI)

Jakarta Emergency Dredging Initiative atau biasa disebut JEDI adalah proyek utang kerjasama Pemerintah Indonesia dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan Bank Dunia. JEDI memiliki tujuan (i) mengurangi dampak banjir tahunan di DKI melalui perbaikan dan pengerukan jalur banjir, saluran air, dan waduk berdasarkan standard internasional; (ii) menyediakan tenaga ahli melalui pelatihan (magang) untuk memperkuat kapasitas Pemerintah DKI Jakarta dan Kementerian Pekerjaan Umum dalam mengoperasikan dan merawat sistem pengendalian bajir, menurut standard internasional (Report No. AB4043, 2008).

Menurut ahli Bank Dunia, Risyana Sukarma, yang dimuat di Jakarta Post (18 April 2008), proyek pengerukan sungai Bank Dunia ini berbeda dengan pengerukan biasa. “Compared to the usual dredging, this mass dredging uses “state-of-the-art” equipment and methods from the Netherlands, where advanced water management technology has proven reliable,” – (Dibandingkan dengan pengerukan yang biasa yang dilakukan, ini merupakan pengerukan besar menggunakan peralatan “state of the art” dengan metode dari Belanda di mana tekhnologi pengelolaan air terbukti handal) – a senior expert with World Bank Indonesia. Risyana menambahkan “What is different about the new method is that it will be programmed and be performed regularly.”

  • Membangun sumur resapan -> dangkal, sedang, dalam

Air yang diperbolehkan masuk ke dalam sumur resapan adalah air hujan  yang berasal dari limpasan atap bangunan atau permukaan tanah yang tertutup oleh bangunan atau air lainnya yang sudah melalui Instalasi Pengelolaan Air Limbah dan sudah memenuhi standar Baku Mutu.

Banjir di Jakarta disebabkan pula akibat sumber resapan air sangat sulit karena pengalihan fungsi lahan menjadi pemukiman menyebabkan tidak adanya lagi area terbuka sebagai resapan air karena penutupan lahan hanya 26,97% sisanya 72,03% merupakan daerah terbangun (Susanto 2007), sehingga air yang meresap ke dalam tanah menjadi kecil dan memperbesar volume aliran air permukaan. Fungsi dari sumur resapan jika curah hujan tinggi maka air akan masuk langsung kedalam tanah melalui sumur resapan tersebut. Sumur resapan ini dapat dikatakan pembuatan tempat infiltrasi untuk air hujan karena sehingga mengurangi terjadinya aliran permukaan (run-off). Disampingkan kegunaan tersebut dapat bermanfaat untuk menjaga ketersediaan air bersih dan Selain berfungsi sebagai pencegah banjir, sumur resapan berfungsi pula terhadap penyediaan air tanah pada saat musim kemarau.

  • Membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat -> tidak membuang sampah dan mendirikan bangunan di kali dan saluran
  • Pengembangan 3R (reuse, reduce, recycle)

Pengelolaan sampah akan dilakukan melalui pihak ketiga atau swasta. Sebab, selama ini belum ada retribusi untuk kebersihan.Nantinya akan ada retribusi sampah yang dikelola swasta dan terdapat jaminan sampah sudah dipilah-pilah jelas dari perumahan atau perkampungan. Penggunaan teknologi untuk pengelolaan sampah di antaranya melalui ITF dilakukan dengan menggunakan incinerator atau dibakar yang menyisakan residu sekitar 10 persen dari total sampah yang diolah. Kemudian, incinerator dijadikan energi dengan menghasilkan listrik 14 megawatt per seribu ton sampah. Sehingga, didorong bisa menjadi pembangkit listrik. Pembangkit listrik tersebut digarap tahun ini di antaranya akan mendatangkan investor dari Singapura atau Jepang. Sementara itu, dia mengatakan akan dibangun empat ITF di Jakarta. Edukasi atau pendidikan menjadi hal yang penting dalam pengelolaan sampah. Hal ini untuk mewujudkan Jakarta bebas dari sampah. Setelah edukasi, baru 3R, bank sampah.

Di Jakarta, sampah yang diolah dari sumbernya sekitar 300 ton per hari melalui bank sampah yang di antaranya menjadi kompos. Produksi sampah masyarakat antara 5.300-6.300 ton per hari. Namun, sifatnya fluktuasi sesuai kondisi di masyarakat. Nantinya, pembuangan sampah dilakukan Intermediate Treatment Facility (ITF).

Image

 Data komposisi dan karakteristik sampah di 5 Wilayah Administrasi DKI Jakarta, dari Informasi Dinas Kebersihan Triwulan I Tahun 2010 yaitu, sampah organik sebesar 55,37% dan sampah non organik sebesar 44,63%.

Image

 

  • Mengintensifkan penanganan sampah di sungai dengan melakukan  pembersihan sampah sungai dan saluran di 5 wilayah kota -> bekerjasama  dengan TNI                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   2.  Jangka Menengah
  • Membangun sodetan Kali Ciliwung ke BKT

BKT dapat menampung lima sungai yang terhubung langsung dengan BKT, yaitu Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung, tapi kapasitas BKT belum termanfaatkan secara maksimal.  Kapasitas BKT yang mencapai 370-380 kubik per detik, masih dapat menampung air hingga 50 meter kubik per detik lagi. Membuat sodetan atau jalan pintas aliran kali dianggap paling relevan untuk diterapkan.  Membuat sodetan akan lebih ekonomi dibandingkan melakukan normalisasi aliran kali. Normalisasi membutuhkan biaya pembebasan lahan dan biaya. Sodetan rencananya akan dibuat dari Kali Ciliwung-Kali Cipinang–BKT.

Sodetan tersebut berencana menghubungkan saluran Kali Ciliwung dengan Banjir Kanal Timur (BKT) guna memanfaatkan kapasitas BKT yang jauh lebih besar daripada Kali Ciliwung yang kerap membanjiri pemukiman bantaran.

  • Membangunan Cengkareng Drain 2

 Kehadiran Cengkareng Drain II ini akan memotong tiga kali sekaligus, antara lain Kali Angke, Kali Semanan dan Kali Mukevart. Sehingga, aliran di tiga kali ini dapat langsung dialirkan ke laut melalui Cengkareng Drain II.

  • Membangun Waduk Ciawi dan Waduk Cimanggis

Lokasi waduk berada di kawasan Cibogo. Luasnya mencapai 100 hektar, dengan kedalaman sekitar 85 meter. Waduk ini disiapkan sebagai lokasi parkir air hujan, jika Kali Ciliwung meluap. Namun untuk mengantisipasi jika waduk ini meluap, Pemprov DKI membangun sodetan melalui terowongan ke Kali Cisadane. Waduk Ciawi dapat menampung 33 juta kubik air.

Waduk Cimanggis ini akan digunakan sebagai daerah resapan air untuk wilayah Jakarta Timur. Untuk membangun waduk itu, Pemprov DKI Jakarta akan membebaskan lahan seluas 5,4 hektare yang terletak di RT 006/RW 14, Kelurahan Cibubur,Kecamatan Ciracas. Waduk Cimanggis nantinya akan dijadikan daerah tangkapan air yang berada di hulu Kali Cipinang yang saat ini masih sempit.

  • Memperkuat tanggul rob di sepanjang pantura Jakarta
  • Meningkatkan RTH dan penghutanan kembali di kawasan hulu
  • Menahan penurunan muka tanah dengan memasalkan pembangunan sumur resapan dan pembatasan ekstraksi air tanah

3. Jangka Panjang

  • Membangun Tanggul Laut Raksasa -> mengantisipasi banjir, penampungan cadangan air baku dan pengolahan air limbah

 Giant sea wall adalah sebuah tanggul laut raksasa yang membentengi Teluk Jakarta. Proyek dengan panjang 35-60 kilometer dan tersebut dirancang untuk mengatasi banjir akibat kenaikan permukaan air laut, membersihkan air sungai sebelum ke laut, dan reklamasi pantai.

Konsep pembangunan tanggul ini tidak hanya untuk sepuluh hingga 20 tahun mendatang, tetapi untuk 50 hingga 100 tahun ke depan. Rencana pembangunan tanggul laut raksasa dengan varian opsi yang telah dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Panjang tanggul diperkirakan 35 hingga 60 kilometer. Pembangunan akan dilakukan mulai dari kawasan Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Tangerang hingga ke Tanjung Priok, Jakarta Utara. Namun untuk Pelabuhan Tanjung Priok tetap dibuka.

Tujuan dari konsep ini yaitu untuk menciptakan danau air tawar sebagai buffer atau penyangga tata air di darat dan menciptakan daratan baru yang sangat besar tanpa pembebasan dan pemindahan warga, terciptanya banyak lapangan kerja, serta menciptakan sekaligus melestarikan hutan bakau baru di lepas pantai. Pembangunan giant sea wall itu untuk menjaga bahaya rob dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan air bersih. Ada jalan melingkar di atas giant sea wall dan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Selama proyek giant sea wall belum berjalan, Pemprov DKI dalam waktu dekat membangun pabrik penjernihan air di Curug, Karawang, Jawa Barat. Proyek ini merupakan solusi jangka pendek memenuhi kebutuhan air bersih Jakarta dan solusi jangka panjangnya adalah dengan membangun giant sea wall.

  • Memantapkan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Bodetabekjur, Jabar dan Banten serta Pemerintah Pusat -> manajemen pengelolaan air Jakarta sebagai ibukota NKRI

SUMBER REFERENSI

Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta. 2011. Bab 5: Kondisi Sistem Pengelolaan Sampah DKI Jakarta Tahun 2010-2011. Jakarta

Handhayani, Sarwo. 2013.  Kebijakan Pengendalian Banjir Di Jakarta. Disampaikan dalam Seminar Nasional “ Implementasi kebijakan pemanenan air dalam rangka manejemen risiko sumberdaya air di DKI Jakarta. Jakarta: Hotel Borobudur.

Khoirun, Siti. 2010. Studi Ciliwung, Pengabaian Pemerintah Terhadap  Eksistensi Penduduk Pinggiran Sungai: Wajah Pengelolaan Sungai Di Indonesia.  

Nurroh, Syampadzi,dkk. 2009. Pengaruh Sumur Resapan Terhadap Sistem Hidrologi dan Aplikasinya Terhadap Permukiman Di Jakarta Barat. Bogor: IPB.

Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 68 Tahun 2005 Tentang Perubahan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Nomor 115 Tahun 2001 Tentang Pembuatan Sumur Resapan. Jakarta: Infid

http://archipeddy.com/ess/dki/situdksi.html

http://www.beritasatu.com/aktualitas/100332-dki-akan-bangun-embung-di-daerah-retensi-air.html

http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/01/26/mh8c8d-pemprov-dki-harus-serius-relokasi-pemukiman

http://tvku.tv/v2010b/index.php?page=stream&id=6958

http://www.merdeka.com/jakarta/pengelolaan-sampah-di-jakarta-akan-diserahkan-ke-swasta.html

http://log.viva.co.id/news/read/253370-kali-ciliwung-dan-bkt-akan-dihubungkan

http://megapolitan.kompas.com/read/2012/11/11/13084393/Pembangunan.Cengkareng.Drain.II.Butuh.10.Tahun

http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08-02-005-0006-003-02-0921.pdf

http://bisnis.liputan6.com/read/491221/jakarta-tak-mungkin-bangun-waduk

http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/19/0228110/twitter.com

http://www.beritasatu.com/megapolitan/96164-tanggul-laut-raksasa-efektif-atasi-banjir-rob.html

http://indonesia.go.id/en/penjelasan-umum/12394-giant-sea-wall–solusi-penanganan-banjir-jangka-panjang

Action Plan Pemerintah Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca

 

 

            Sejak regulasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dimunculkan pada tahun 2011, tampak pemerintah cenderung menjalankan program pembangunan secara “serius”. Strategi masing-masing sektor disinergikan dan merujuk pada target-target penurunan emisi GRK secara kuantitatif dan kualitatif. Hal tersebut diterakan secara nyata dalam Peraturan Presiden (P P) No.61 Tahun 2011. Tidak terlepas dari hal tersebut, implementasi terhadap penurunan emisi GRK dilakukan pada sektor perkebunan industri kelapa sawit; sementara dipahami bahwa kelapa sawit Indonesia pernah mengalami kesulitan untuk masuk ke pasar Amerika Serikat.

Untuk itu tulisan ini berupaya untuk mengupas secara umum regulasi pemerintah dalam penurunan emisi GRK dan implementasi upaya industri sawit ramah lingkungan.

Sekilas RAN GRK

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26 % pada tahun 2020 dari tingkat Business as Usual (BAU) dengan usaha sendiri dan mencapai 41 % apabila mendapat dukungan internasional. Hal ini telah disampaikan oleh Presiden Yudhoyono dalam pidatonya pada pertemuan G-20 pada tanggal 25 September 2005 di Pittsburg, USA. Implementasi dari komitmen tersebut yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (PP) No.61 Tahun 2011 tentang Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) pada tanggal 28 Oktober 2011 oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana. Upaya penurunan emisi GRK, selain pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian/Lembaga di tingkat pusat, juga dilakukan pula ditingkat daerah (propinsi) agar berkontribusi pula dalam pencapaian target nasional.

Kegiatan inti yang berdampak langsung pada penuruan emisi GRK dan penyerapan GRK, yakni:

Sektor Pertanian

Rencana aksi, yakni perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi; optimalisasi lahan; penerapan teknologi budidaya tanaman; pemanfaatan pupuk organik dan bio-pestisida; pengembangan areal perkebunan (sawit, karet, kakao) dilahan tidak berhutan/ lahan terlantar/ lahan terdegradasi/ areal penggunaan lain (APL); dan pemanfaatan kotoran/urine ternak & limbah pertanian untuk biogas.

Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut

Rencana aksi, yakni pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH); perencanaan pemanfaatan dan peningkatan usaha kawasan hutan; pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan; pengukuhan kawasan hutan; peningkatan,rehabilitasi, operasi& pemeliharaan jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan bergambut); pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan; pengembangan pengelolaan lahan pertanian di lahan gambut terlantar & terdegradasi untuk mendukung subsector perkebunan, peternakan & hortikultura; penyelenggaraan, rehabilitasi hutan & lahan & reklamasi hutan di DAS prioritas; pengembangan perhutanan sosial; pengendalian kebakaran hutan; penyidikan & pengamanan hutan; pengembangan kawasan konservasi, ekosistem esensial & pembinaan hutan lindung; dan peningkatan usaha hutan tanaman.

Energi dan Transportasi

Rencana aksi, yakni penerapan mandatori manajemen energy untuk pengguna padat Energi; penerapan program kemitraan konservasi energi; peningkatan efisiensiPeralatan rumah tangga; penyediaan & pengelolaan energy baru terbarukan & konservasi energi; pemanfaatn biogas; penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan; peningkatan sambungan rumah yang teraliri gas bumi melalui pipa; pembangunan kilang mini plant liquid petroleum gas (LPG); reklamasi lahan pasca tambang; pembangunan ITS (Inteligent Transport System) ; penerapan pengendalian dampak lalu lintas (Traffic Impact Control); penerapan manajemen parker; penerapan Congestion Charging and Road Pricing (dikombinasi dengan angkutan umum missal cepat); reformasi sistem transit Bus Rapid Transit (BRT)/ semi BRT; peremajaan armada angkutan umum; pemasangan Converter Kit (gasifikasi angkutan umum) ; pelatihan dan sosialisasi smart driving (eco-driving); membangun non motorized transport (pedestrian & jalur sepeda); pengembangan KA perkotaan Bandung; pembangunan double-double track (termasuk elektrifikasi); pengadaan kereta rel listrik baru; modifikasi kereta rel diesel menjadi kereta rel diesel elektrik; pembangunan mass rapid transportation Jakarta North-South tahap I dan Tahap II; pembangunan jalur kereta api bandara Soekarno-Hatta; pembangunan monorail Jakarta; dan pembangunan/peningkatan & preservasi jalan.

Industri

Rencana aksi, yakni penerapan modifikasi proses dan teknologi; konservasi & audit energy; dan penghapusan bahan perusak ozon.

Pengelolaan Limbah

Rencana aksi, yakni pembangunan sarana prasarana air limbah dengan sistem off-site & on-site; dan pembangunan tempat pemrosesan akhir (TPA) & pengelolaan sampah terpadu reduce, reuse and recycle (3R)

Berikut detail target penurunan emisi CO2e setiap sektor:

 

Sektor Pertanian (gigaTon)

Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut (gigaTon)

 

Sektor Energi dan Transportasi (gigaTon)

 

Sektor Industri (gigaTon)

 

Sektor Pengelolaan Limbah (gigaTon)

 

Target Penurunan Emisi 26 %

0,008

0,672

0,038

0,001

0,048

Target Penurunan Emisi 41 %

0,011

1,039

1,056

0,005

0,078

(Sumber: PP No.61 Tahun 2011)

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia saat ini dalam kancah dunia sangat berperan dalam produksi kelapa sawit. Produk dibidang ini dalam susunan sektor-sektor target penurunan emisi karbon (GRK) bisa masuk dalam konteks industri (perkebunan). Menindaklanjuti antisipasi ke depan dalam hal global warming, pemerintah mulai menerapkan sistem pengelolaan kelapa sawit ramah lingkungan.

Hal ini tentu akan menjembatani antara target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai dirujuk pada RAN GRK, dan sistem pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan.

Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis sebagai penghasil devisa negara utama dari sektor non migas. Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas perkebunan, perkembangannya cukup pesat dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya terutama terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Hingga saat ini Indonesia bersama Malaysia menjadi negara pengekspor crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Seiring berjalannya waktu luas dan produksi kelapa sawit Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya dan ditargetkan akan semakin besar setiap tahunnya. Hingga tahun 2011, produksi kelapa sawit Indonesia dari perkebunan rakyat (PR) 8.797.924 Ton, perkebunan besar (PB) 4.168.064 Ton

ImageImage

(Luas Kelapa Sawit Indonesia; dan Volume serta Nilai Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan)

 Dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit ternyata menimbulkan beberapa masalah.   Masalah tersebut antara lain di perkebunan kelapa sawit dan pada proses pembuangan limbah. Perluasan perkebunan  kelapa sawit yang sangat ekspansif ternyata membawa berbagai dampak positif dan negatif. Dari berbagai literatur dampat disimpulkan beberapa dampak negatif dari pengembangan kelapa sawit, antara lain: 

1.  Penggunaan lahan gambut untuk perkebunan lahan sawit yang salah, ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pemanasan global.

2.  Hutan alam menjadi sangat monokultur. Hutan alam yang seharusnya menjadi sumber penangkap carbon menjadi berkurang kemampuannya dalam menangkap carbon yang dapat mempengaruhi pemanasan global (Efek Rumah Kaca).

3.  Terganggunya Keseimbangan ekologis. 

Hilangnya berbagai flora dan fauna yang khas dan unik menyebabkan keseimbangan menjadi terganggu.

4.  Kebutuhan tanaman kelapa sawit yang sangat haus akan air tanah.

Beberapa dampak negatif inilah yang antara lain menjadi alasan berbagai pihak yang  menuding agroindustri kelapa sawit terutama pada saat pembukaan lahan baru sangat mempengaruhi pemanasan global. Selain dari itu, semakin maraknya kampanye “anti sawit” di negara-negara barat serta tindakan pemerintah di negara-negara maju yang “menghambat” penggunaan CPO maka pemerintah Indonesia sejak tahun 2012, mengeluarkan konsep kelapa sawit berkelanjutan yang lebih dikenal dengan akronim ISPO.

Dasar lain penetapan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan yakni adanya beberapa komitmen global dalam pemanfataan sawit berkelanjutan, seperti Rio Earth Summit 1992, Earth Summit +5 1997, World Summit on Sustainable Development 2002 di Johannesburg sera International Conference on Financing Development di Doha dan tuntutan dari para negara importir CPO di Eropa yang hanya akan membeli minyak kelapa sawit berkelanjutan mulai tahun 2015.

 Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah merupakan Mandatori bagi seluruh perusahaan Perkebunan yang berdomisili di Indonesia. Oleh karena itu seluruh usaha perkebunan  yang ada harus melakukan ISPO , sehingga perusahaan harus punya sertifikasi tentang ISPO . Tujuan Ditetapkannya ISPO:

  • Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya memproduksi minyak sawit lestari.
  • Meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar Internasional
  • Mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK.   
  • Mendukung  komitmen  unilateral pemerintah Indonesia di Kopenhagen (2009) dan Program Based Line on LOI Indonesia dan Norwegia (2010).
  • Memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi Indonesia.
  • Memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk  memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan sesuai tuntutan masyarakat global.
  • Mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup.

Ketetapan Hukum dari ISPO melalui Permentan No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Untuk mendapatkan sertifikasi ISPO perusahaan harus terlebih dahulu mendapat penilaian, untuk menentukan kriteria kelas kebun. Kebun yang sudah dinilai akan mendapat kriteria kelas I, II,III dan IV sesuai hasil dari pelaksanaan penilaian. Dalam pelaksanaan penilaian usaha perkebunan bukan hanya pada fisik kebun semata, tetapi juga lingkungan, SDM, manajemen usaha, kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar. Penilaian usaha perkebunan dilakukan oleh petugas penilai yang sudah mendapat pelatihan dari Lembaga Pelatihan Perkebunan (LPP) dan sudah mendapat sertifikat tentang penilain usaha perkebunan. Petugas penilai akan bertanggung jawab  secara teknis dan juridis terhadap hasil penilaiannya. Aspek yang dinilai dalam penilaian usaha perkebunan meliputi; legalitas, manajemen, kebun, pengolahan hasil, sosial, ekonomi wilayah, lingkungan, serta pelaporan. Hasil penilaian ini akan menentukan kelas kebun bagi kebun operasional yaitu, kebun kelas I (Baik sekali) kelas II (baik), Kelas III (sedang), Kelas IV (kurang) dan kelas V (kurang sama sekali). Ini semua ditentukan oleh nilai hasil penilaian yang dilaksanakan oleh penilai.

Penutup

            Dengan dilaksanakannya aksi nyata pemerintah di sektor industri (perkebunan) dengan mengeluarkan peraturan produksi kelapa sawit yang ramah lingkungan merupakan salah satu upaya konkrit mewujudkan target penurunan emisi karbon yang tercantum dalam RAN GRK. Hingga tahun 2013 sudah terdapat sekitar 10 perusahaan pengelolaan kelapa sawit yang telah mendapat sertifikat ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) serta sekitar 15 perusahaan pengelolaan kelapa sawit yang sedang menjalankan proses audit oleh Kementerian Pertanian RI (Fadhil Hasan, Gapki 2013). Dengan terwujudnya kelapa sawit Indonesia yang ramah lingkungan maka negara kita telah mempersiapkan diri lebih dini dalam mengantisipasi pemanfaatan kelapa sawit yang ramah lingkungan yang akan  diberlakukan di negara-negara maju (Eropa dan USA) 2015. Sehingga industri kelapa sawit Indonesia pada masa depan tidak terganggu dan tidak menjadi penghambat bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia.

            Perusahaan pengelolaan industri kelapa sawit yang telah mendapat sertifikat ISPO menandakan perusahaan telah memenuhi semua aspek legalitas termasuk tidak melanggar kawasan hutan, telah melakukan praktik terbaik di dalam mengelola operasionalnya, ramah lingkungan, mengelola pekerja dengan baik, ramah sosial, mensejahterakan masyarakat sekitar dan melakukan improvement secara terus menerus.

Referensi

Barani, Achmad Mangga. 2013. Pengalaman Implementasi ISPO. Jakarta: Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang Perekonomian.

Direktur Jenderal Perkebunan. 2013. Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia/ISPO Sebagai Mandatori Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Di Indonesia. Jakarta: Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang Perekonomian.

Hasan, Muhammad Fadhil. Mengikuti Perkembangan Implementasi ISPO. Jakarta: Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang Perekonomian.

Kurniawan, Wawan. 2011. Urgensi Pembangunan Agroindustri Kelapa Sawit Berkelanjutan Untuk Mengurangi Pemanasana Global. Jakarta: Jurnal Teknik Industri Universitas Trisakti.

Laporan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kepada Menko Perekonomian perihal satu tahun Perpres No.61/2011 tentang RAN-GRK. 29 November 2012.

Laporan Pelaksanaan RAN/RAD-GRK. Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Endang Murniningtyas. 26 Maret 2013.

Mulyani, Anny,dkk. 2003. Kesesuaian Lahan Untuk Kelapa Sawit Di Indonesia. Jakarta: Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.

Peraturan Presiden (PP) No.61/2011 tentang Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

 

 

Siaran Pers Tulisan Sendiri (Published) Terkait Acara di Kantor Hingga Tanggal 12 April 2013

SIARAN PERS/ Senin, 1 April 2013

“Sosialisasi Kebijakan Sawit Ramah Lingkungan”

 Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Sumber Daya Hayati Kementerian Koordinator Perekonomian RI menyelenggarakan Workshop “ Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Heart of Borneo (HoB) Kalimantan” pada tanggal 27 Maret 2013 di Ruang Timor Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Beberapa instansi terkait  dari pemerintah daerah dari berbagai propinsi di Pulau Kalimantan, akademisi, peneliti, perwakilan kementerian terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan asosiasi pengusaha kelapa sawit antusias mengikuti workshop yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian tersebut. Dalam sambutannya Raldi Hendro Koestoer, PhD, APU yang mewakili Menteri Koordinator Perekonomian RI, mengatakan bahwa adanya kebijakan pemerintah dalam memberlakukan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan langkah maju dalam melaksanakan pembangunan ekonomi ramah lingkungan dimana sesuai dengan kaidah Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menitikberatkan pada fokus green economy  (GE). Konsep GE memiliki prinsip low carbon emission transaction, efficiency-cost effectiveness and sustainability and social welfare inclusiveness. Dasar penetapan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia telah diatur pada Undang-Undang No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan diperinci di Peraturan Menteri Pertanian No 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia; bertujuan meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa sawit Indonesia untuk memperbaiki lingkungan, meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia diluar negeri dan syarat utama negara pembeli bagi palm oil biodiesel. Berdasarkan data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), sudah 10 perkebunan kelapa sawit yang meraih sertifikat ISPO perdana serta terdapat sekitar 15 perusahaan kelapa sawit yang sedang melaksanakan proses audit dan siap dinilai untuk mendapatkan sertifikat ISPO.

Workshop “Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Heart of Borneo (HoB) Kalimantan” terdiri dari dua sesi, dimana setiap sesi diisi oleh pihak-pihak yang berkompeten di bidang perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Sesi pertama disampaikan oleh perwakilan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Bambang Dahono Adji, Kepala Sekretariat HoB Indonesia Dr.Ir. Andi Novianto, perwakilan dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Hendrajat Natawidjaja dan Guru Besar UGM Prof. Catur Sugiyanto. Sedangkan sesi kedua disampaikan oleh Guru Besar IPB Prof. Akhmad Fauzi, Perwakilan Pokja HoB Propinsi Kalimantan Tengah, Guru Besar Universitas Palangkaraya Prof. Sulmin Gumiri, Perwakilan GAPKI dan Perwakilan FP2SB.

Hasil dari workshop yang diselenggarakan ini guna memberikan gambaran tentang kemajuan ISPO hingga saat ini serta hambatan dan masukan bagi pemerintah agar sertifikasi ISPO dapat menjadi lebih baik lagi bagi kemajuan industri kelapa sawit Indonesia ramah lingkungan serta kompetitif di pasar dunia internasional.

SIARAN PERS / Selasa, 9 April 2013

“Monev Kinerja BBLKI Medan Dalam Konteks MP3EI”

     Kementerian Koordinator Perekonomian RI yang diwakili oleh Raldi Hendro Koestoer, pada tanggal 3-6 April 2013 melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) di Balai Besar Latihan Kerja Industri di Kota Medan- Sumatera Utara. Kunjungan di sambut dan diterima oleh Kepala BBLKI Medan Nurmia Sinaga, MA. Raldi Hendro Koestoer menyatakan bahwa dengan adanya program pelatihan kerja industri bagi kalangan masyarakat/kelompok umur siap kerja yang pendidikan terakhirnya setingkat sekolah menengah akan sangat membantu pemerintah menurunkan tingkat pengangguran terbuka yang mayoritas dialami oleh kelompok masyarakat tersebut, khususnya dalam konteks Master Plan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

     Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI)Medan-Sumatera Utara merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat dibidang pengembangan dan peluasan kerja yang bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Ditjen Binalattas) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. BBLKI Medan mempunyai wilayah kerja meliputi: Propinsi Sumatra Utara, Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Riau, Propisi Jambi, Propinsi Bangka Belitung, Propinsi Kepulauan Riau, Propinsi Bengkulu. BBLKI Medan mengembangkan program pelatihan berbasis kompetensi, pelatihan berbasis masyarakat, pelayanan konseling,pemberdayaan lembaga pelatihan, pelatihan pemagangan, peningkatan kerjasama dengan pihak ketiga, program “kios 3 in 1”, dan pelayanan tempat uji kompetensi (TUK). Untuk mencapai program-program yang akan dikembangkan oleh BBLKI, fasilitas penunjang untuk kegiatan praktik yang ada antara lain Ruang Praktek Kejuruan Listrik, Kejuruan Mekanik, Kejuruan Otomotif, Bordir, Ruang Workshop lintas bidang, Ruang Praktek Industri Kreatif (design graphics), Asrama Peserta, dll. Lamanya pelatihan yang dilakukan di BBLKI pada umumnya 160- 240 jam (20-30 hari) tanpa dikenakan biaya. Dalam melakukan kegiatan monev ini, diberikan kuisioner yang terdiri dari kumpulan pertanyaan yang berkaitan antara program BBLKI dengan program Master Plan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Target responden terdiri dari 3 kalangan, yakni Pejabat BBLKI, Instruktur dan peserta BBLKI. Kepala BBLKI Nurmia Sinaga, mengatakan bahwa dalam segi sarana dan prasarana yang terdapat di BBLKI relatif sangat memadai, paling tidak sesuai dengan perkembangan peralatan yang digunakanoleh industri saat ini. Diharapkan para peserta nantinya siap terjun ke dunia industri, dan sudah cakap dan terampil dalam menggunakan peralatan tersebut. Kendala yang mungkin dihadapi adalah sulitnya mengajak kelompok masyarakat/ golongan yang minat turut dalam pelatihan di BBLKI & ini mungkin terkait dengan “cultural habit” di masyarakat setempat, yakni dalam mencari kerja di luar negeri hanya bermodal “nekat” dengan ketrampilan yang sangat minim serta budaya yang lebih memilih melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi, tanpa melihat pangsa kerja yang tersedia. 

     Monev selanjutnya dilakukan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), yakni Samarinda dan Makassar. Hasil darimonev ini, dikatakan oleh Raldi Hendro Koestoer, PhD akan menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam mengantisipasi kendala dan hambatan apa yang terjadi di lapangan sehingga pelaksanaan target pelatihan yang menunjang MP3EI tidak terhambat. 

SIARAN PERS/ Kamis, 11 April 2013 

“Kiprah Indonesia Dalam Asia-Pacific Climate Change Adaptation Forum 2013”

Institute for Global Environment Strategies (IGES) dan the United Nation Environment Programme (UNEP) melalui Korean Environment Institute (KEI) bekerjasama dengan Korean Adaptation Center for Climate Change (KACCC) mengadakan Asia-Pacific Climate Change Adaptation Forum 2013 di Incheon- Korea Selatan pada tanggal 18-20 Maret 2013. Forum ini memfokuskan pada tema ‘Mainstreaming Adaptation into Development’ yang terbagi dalam lima subtema, yakni Adaptation strategies, Critical and neglected groups, Adaptation in sectors and systems, dan Knowledge management for adaptation. Kegiatan yang dilakukan dalam forum ini melakukan pemaparan terhadap temuan-temuan, inovasi dan tantangan terhadap adaptasi perubahan iklim dalam pembangunan suatu negara. Forum ini diikuti dari berbagai kalangan dari pemerintah, peneliti, ilmuwan, LSM, akademisi serta individu yang concern terhadap isu terkait perubahan iklim dari berbagai negara di dunia, seperti Jepang, Singapura, India, Cina, Korea Selatan, dan Australia. Sesuai dengan keadaan Indonesia pada saat ini yang memasuki tahapan Pembangunan Ekonomi Hijau yang diimplementasikan dalam bentuk Master Plan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI), maka pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Raldi Hendro Koestoer,PhD ikut serta menghadiri serta melakukan pemaparan di forum tersebut.

            Paparan yang disampaikan oleh Raldi Hendro Koestoer, bertemakan sinergi program pemerintah dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dengan MP3EI. Dengan dikeluarkan Peraturan Presiden (PP) No.61 Tahun 2011 tentang RAN-GRK, maka akan cenderung memaksimalkan pemerintah Indonesia dalam menjalankan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan (Green Economy) yang telah dicanangkan dalam Peraturan Presiden (PP)32 Tahun 2011 tentang MP3EI. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26 % pada tahun 2020 sebagai Business as Usual (BAU) dengan usaha sendiri, dan 41 % apabila mendapat dukungan internasional. Kegiatan inti yang berdampak langsung pada penuruan emisi GRK dan penyerapan GRK, yakni pada sektor Pertanian, Kehutanan & Lahan Gambut, energi & transportasi, industri dan pengelolaan limbah. Target penuruan emisi 26% rata-rata sebesar 0,1536 Gt CO2 dan jika 41% sebesar 0,4378 Gt CO2.

Hasil dari Forum ini akan menjadi masukan dan pertukaran informasi bagi para pengambil keputusan dari tingkat pemerintah, bisnis/swasta dan masyarakat dari berbagai negara dalam segi adapatasi dan tindakan mengatasi perubahan iklim  dalam tantangan pembangunan ekonomi saat ini. 

SIARAN PERS/ Jumat, 12 April 2013 

“Menuju Pembangunan Green (Techno) Economy

Ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait, selain mempunyai dampak positif, pembangunan ekonomi juga mempunyai dampak negatif bagi masyarakat. Dari segi positif sudah jelas bahwa pembangunan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Namun pada saat yang sama pembangunan juga berdampak negatif bagi kelestarian alam, seperti berkurangnya sumberdaya alam akibat eksploitasi berlebihan, dan pencemaran udara melalui polusi industry, dapat mengakibatkan terjadinya proses  global warming  (pemanasan global). Hal ini dikarenakan pemakaian bahan bakar fosil, pembabatan hutan yang berlebihan, serta pembangunan fisik yang mengesampingkan keseimbangan alam, hanya memfokus pada pertumbuhan ekonomi semata.

 Ketidakseimbangan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar, dan berdampak terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim ini cenderung mengganggu aspek kehidupan dan ekonomi manusia.  Konsep  dalam diagram Triple Buttom Line  yaitu suatu konsep pembangunan berkelanjutan yang terdiri dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, satu sama lain memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi. Aspek lingkungan memiliki keterkaitan dengan aspek sosial yakni pemanfaatan lahan produktif harus demi kesejahteraan sosial (be arable), keterkaitan aspek ekonomi dan sosial, yaitu perkembangan ekonomi harus berlandaskan adil dan merata bagi masyarakat (be equity), sedangkan aspek lingkungan dengan ekonomi harus saling menguntungkan, dimana aktivitas ekonomi tidak boleh menggangu keseimbangan lingkungan (viable). Keterkaitan antara tiga aspek sekaligus, lingkungan-sosial-ekonomi, yang kita kenal yakni pembangunan berkelanjutan (sustainable).

 Salah satu aspek yang mengedepankan pembangunan berkelanjutan yakni dengan mengemukakan prinsip green (tecno) economy , yakni pemanfaatan “teknologi hijau” demi meningkatkan kemajuan ekonomi yang tidak merusak lingkungan ( green economy) yang berguna bagi kemajuan pembangunan negara.  Menurut Raldi Hendro Koestoer, yang mewakili dari kalangan pemerintah sekaligus akademisi dalam acara “Smart to be Green’’  yang diadakan oleh salah satu perusahaan mesin fotokopi ramah lingkungan di Jakarta pada tanggal 9 April 2013.  Pemerintah belakangan ini mengedepankan pembangunan dengan konsep green (techno) economy  yakni dengan merilis Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yaitu mempercepat dan memaksimalkan pembangunan di enam koridor ekonomi, yakni koridor ekonomi (KE) Sumatera, KE Jawa, KE Kalimantan, KE Sulawesi, KE Bali-Nusa Tenggara dan KE Kepulauan Maluku-Papua dengan tidak mengesampingkan keseimbangan lingkungan.  Kebijakan pemerintah selalu memegang prinsip “pro growth, pro job, pro poor and pro green economy”. Salah satu aksi nyata yang dilakukan oleh pemerintah yakni dengan mendorong masyarakat menggunakan bahan bakar nabati (biofuel)  sebagai sumber energi alternatif, menerbitkan ISPO ( Indonesian Sustainable Palm Oil), meminimalisir penggunaan kertas di kalangan birokrasi (paperless) dan mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Gerakan Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

            Peningkatan peran green (tecno)economy pada akhirnya akan menguntungkan lingkungan, ekonomi dan sosial, sehingga kelestarian alam akan terus terjaga dan mengurangi efek negatif global warming  terhadap kehidupan makhluk hidup di bumi.

Urgensi Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)

 Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26 % pada tahun 2020 dari tingkat Business as Usual (BAU) dengan usaha sendiri dan mencapai 41 % apabila mendapat dukungan internasional. Hal ini telah disampaikan oleh Presiden Yudhoyono dalam pidatonya pada pertemuan G-20 pada tanggal 25 September 2005 di Pittsburg, USA. Implementasi dari komitmen tersebut yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (PP) No.61 Tahun 2011 tentang Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) pada tanggal 28 Oktober 2011 oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana. Upaya penurunan emisi GRK, selain pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian/Lembaga di tingkat pusat, juga dilakukan pula ditingkat daerah (propinsi) agar berkontribusi pula dalam pencapaian target nasional.

Kegiatan inti yang berdampak langsung pada penurunan emisi GRK dan penyerapan GRK, yakni:

  1. Sektor Pertanian
  2. Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut
  3. Energi dan Transportasi
  4. Industri
  5. Pengelolaan Limbah

Berikut detail target penurunan emisi tiap sektor:

Sektor Pertanian (gigaTon) Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut (gigaTon)

 

Sektor Energi dan Transportasi (gigaTon)

 

Sektor Industri (gigaTon)

 

Sektor Pengelolaan Limbah (gigaTon)

 

Target Penurunan Emisi 26 % 0,008 0,672 0,038 0,001 0,048
Target Penurunan Emisi 41 % 0,011 1,039 1,056 0,005 0,078

Dalam melakukan monitoring-evaluasi (Monev) RAN-GRK, beberapa kementerian memiliki cakupan peran masing-masing, yakni:

–         UU No.25/2004 melalui PP No. 39/2006; Bappenas bertanggung jawab dalam melaksanakan monev berdasarkan RPJMN/D (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah) dan RKP/D (Rencana Kerja Pemerintah/Daerah).

–         UU No. 32/2004 melalui PP No.8/2008; Kementerian Dalam Negeri bertanggung jawab melakukan monev di tingkat pemerintah daerah (daerah)

–         Inpres No.7/1999; Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara bertanggung Jawab melakukan monev di instansi pemerintah

–         UU No.17/2003 melalui PP no.8/2006; Kementerian Keuangan bertanggung jawab dalam hal kinerja anggaran nasional

 

Berikut Matrik Lintas Bidang Perubahan Iklim Global yang menunjang pelaksanaan target penurunan emisi melalui RAN-GRK:

Kegiatan Adaptasi

Kegiatan Mitigasi

Kegiatan Pendukung

Pengendalian penyakit bersumber binatang Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan bidang minyak bumi, bidang extractive industries transparency dan bidang percepatan penyediaan dan pemanfaatn energy alternative Pengembangan kebun raya daerah
Penyehatan Lingkungan Koordinasi kebijakan pengembangan bahan bakar nabati Penelitian geoteknologi
Koordinasi Kebijakan Ketahanan Pangan Koordinasi kebijakan pengembangan desa mandiri energy Pelaksanaan penataan ruang nasional
Pengembangan dan Pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan lainnya Pengkajian industry hijau dan lingkungan hidup Pembinaan program Ditjen penataan ruang
Pengendalian Banjir, Lahar Gunung Berapi, dan Pengaman Pantai Pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pelaksanaan infrastuktur sanitasi dan persampahan Pembinaan pelaksanaan penataan ruang daerah wilayah 1
Pengelolaan dan Konservasi Waduk, Embung, Situ, serta Bangunan Penampung air lainnya Pembinaan dan pengembangan sistem transportasi perkotaan Pembinaan pelaksanaan penataan ruang daerah wilayah 2
Penyediaan dan pengelolaan air baku Pembangunan dan pengelolaan prasarana dan fasilitas pendukung kereta api Fasilitasi pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna
Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana Pembangunan dan pengelolaan bidang sarana perkeretaapian Penyerasian lingkungan di kawasan transmigrasi
Tanggap darurat didaerah terkena bencana Pelaksanaan preservasi dan peningkatan kapasitas jalan nasional Fasilitasi penataan perkotaan
Pengembangan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi untuk pengurangan resiko dan mitigasi bencana alam Pengendalian pencemaran udara sumber bergerak Pengelolaan sampah
Pencegahan dan pengurangan resiko bencana Mitigasi dan pelestarian fungsi atmosfer Pengendalian kerusakan ekosistem perairan darat
Pengendalian kerusakan lingkungan pesisir dan laut Peningkatan pengelolaan lingkungan hidup di daerah Pengelolaan meteorology publik BMKG
Peningkatan kebijakan standarisasi, teknologi dan produksi bersih dalam pengelolaan lingkungan hidup Keanekaragaman hayati dan pengendalian kerusakan lahan Pengelolaan iklim agroklimat dan iklim maritime BMKG
Adaptasi perubahan iklim Pengembangan kawasan konservasi dan pembinaan hutan lindung ekosistem esensial Pengelolaan gempa bumi dan tsunami BMKG
Pendayagunaan pesisir dan lautan Penyidikan dan pengaman hutan Pengelolaan perubahan iklim dan kualitas udara BMKG
Pengkajian dan perekayasaan teknologi kelautan dan perikanan Pengendalian kebakaran hutan Pengelolaan meteorology penerbangan dan maritime BMKG
Pengelolaan dan pengembangan konservasi kawasan dan jenis Pengembangan perhutanan social Pengelolaan meterologi penerbangan dan maritime BMKG
Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dan reklamasi hutan di DAS prioritas Pengelolaan seismologi teknik, geofisika potensial dan tanda waktu BMKG
Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) Pengelolaan instrumentasi, rekayasa dan kalibrasi BMKG
Pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan Pengelolaan jaringan komunikasi BMKG
Penelitian dan pengembangan kebijakan kehutanan dan perubahan iklim Pengelolaan database BMKG
Perencanaan pemanfaatan dan peningkatan usaha kawasan hutan Pengembangan dan pengelolaan UPT BMKG
Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan Penelitian dan pengembangan BMKG
Peningkatan usaha hutan tanaman Penelitian dan pengembangan IPTEK kewilayahan, dinamika dan sumber daya laut dan pesisir
Inventarisasi dan pemantauan sumber daya hutan Penataan ruang dan perencanaan pengelolaan wilayah laut,pesisir dan pulau-pulau kecil
Pengelolaan air irigasi untuk pertanian
Perluasan areal dan pengelolaan lahan pertanian
Penguatan perlindungan tanaman pangan dari gangguan OPT dan DPI
Penelitian dan pengembangan sumberdaya lahan pertanian
Pembinaan dan penyelenggaraan usaha hilir minyak dan gas bumi
Pembinaan dan penyelenggaraan usaha hulu minyak dan gas bumi
Pembinaan lindungan lingkungan, keselamatan operasi dan usaha penunjang bidang Migas
Penyelidikan dan pelayanan sumber daya geologi
Pembinaan , pengawasan dan pengusahaan aneka energy baru terbarukan
Perencanaan energy, penerapan konservasi energy dan teknologi energy bersih
Pembinaan, pengawasan dan pengusahaan panas bumi
Pembinaan, pengawasan dan pengusahaan bioenergi
Pembinaan dan keteknikan lindungan lingkungan dan usaha penunjang bidang mineral dan batubara

Sumber:

  1. Laporan Pelaksanaan RAN/RAD-GRK. Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Endang Murniningtyas. 26 Maret 2013
  2. Laporan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kepada Menko Perekonomian perihal satu tahun Perpres No.61/2011 tentang RAN-GRK. 29 November 2012
  3. PP No.61/2011 tentang Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)

Pasar Kerja dan Kesempatan Kerja di Indonesia “saat ini”

 Pasar Kerja dan Kesempatan Kerja di Indonesia “saat ini”
 

Alvian Safrizal

Kementerian Koordinator Perekonomian RI

 

Pertanyaan Dasar (Koestoer, 2013)

  1. Apa kendala dalam pembangunan ekonomi makro?
  2. Bagaimana Kondisi Ketenagakerjaan Terkini?
  3. Isu-isu ketenagakerjaan yang “urgent” ?
  4. Apa langkah kebijakan/terobosannya?           

A. Dinamika Pertumbuhan Ekonomi

 Kinerja perekonomian Indonesia beberapa tahun ini mendapat banyak pengakuan dari berbagai pihak di dunia. Di tengah terpaan krisis keuangan di Eropa dan Amerika Serikat (2008-sekarang), perekonomian Indonesia tetap tumbuh relatif tinggi dan stabil. Banyak negara lain, termasuk China dan India, yang mengalami penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun terakhir begitu  “menggembirakan”, dimana selama kurun waktu tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu diatas 5% (kecuali tahun 2009). Pertumbuhan ekonomi mutlak diperlukan dalam upaya penyediaan lapangan kerja di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi dan berkualitas amat diperlukan untuk mengatasi tingkat pengangguran yang ada dan menampung angkatan kerja baru. 

Image

B. Gambaran Umum Angkatan Kerja

B.1 Jumlah Penduduk Indonesia

            Selama 20 tahun terakhir sejak tahun 1990, jumlah penduduk Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang cukup signifikn, dimana rata-rata laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1,5 %. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta jiwa sejak tahun 2000. Artinya, setiap tahun selama periode 1990-2000, jumlah penduduk bertambah 3,25 juta jiwa. Jika di alokasikan ke setiap bulan maka setiap bulannya penduduk Indonesia bertambah sebanyak 270.833 jiwa atau sebesar 0,27 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk sebesar 237,6 juta jiwa tersebut, membuat Indonesia tetap “bercokol” sebagai negara berpenduduk terbanyak setelah RRC, India dan Amerika Serikat di dunia serta jumlah penduduk terbesar di kawasan Asia Tenggara. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan usia angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahunnya.

B.2 Penduduk Angkatan Kerja

 Penduduk usia angkatan kerja (15- 64 tahun) di Indonesia meningkat mengikuti laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan. Meningkatnya penduduk usia produktif dapat juga dikatakan sebagai “bonus” demografi. “Bonus demografi’ yakni mayoritas penduduk lebih banyak dipenuhi usia angkatan kerja. Penduduk yang berada di usia angkatan kerja tersebut bisa menjadi potensi bagi Indonesia menjadi Negara maju. Sebaliknya justru menjadi “boomerang” apabila usia produktif tersebut minim kualitas sumber daya manusia. Penduduk Indonesia pada saat ini masih digolongkan sebagai penduduk muda. Itu berarti jika tidak ada kondisi yang sangat ekstrim, seperti misalnya peperangan (dalam peperangan akan banyak orang muda yang mati), maka penurunan pertumbuhan penduduk tidak secara otomatis menurunkan pertumbuhan angkatan kerja. Dalam kondisi normal, pertumbuhan penduduk akan menurunkan jumlah penduduk pada struktur yang muda (0 – 15 tahun). Namun untuk beberapa saat masih akan meningkatkan jumlah penduduk struktur umur di atasnya. Pada penduduk yang tergolong muda seperti Indonesia, pertumbuhan penduduk usia kerja (15 – 64) menjadi lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk itu sendiri. Ini dapat terlihat dari data dimana antara tahun 1990 – 1995 penduduk usia kerja per tahun rata-rata 2,7% per tahun, kemudian menurun menjadi 2,4 % per tahun antara tahun 1995 – 2000 dan kemudia menurun lagi menjadi 1,1 % per tahun antara tahun 2015 – 2020. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka laju pertumbuhan angkatan kerjanya pun cukup tinggi, Permasalahan yang ditimbulkan oleh besarnya jumlah dan pertumbuhan angkatan kerja tersebut di satu pihak menuntut kesempatan kerja yang lebih besar, di pihak lain menuntut pembinaan angkatan kerja itu sendiri agar mampu menghasilkan keluaran yang lebih tinggi sebagai prasyarat untuk menuju tahap tinggal landas. Lapangan kerja datang dari adanya pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan yang tinggi tidak selalu memberikan lapangan kerja yang besar. ini berkaitan dengan strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dan dunia usaha (Tjiptoherijanto, Bappenas).

Jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar akan mampu menjadi potensi pembangunan apabila dibina dengan baik. Pembinaan yang baik akan menghasilkan mutu angkatan kerja yang baik. Mutu angkatan kerja antara lain tercermin dalam tingkat pendidikan dan pelatihanan yang didapatkan oleh penduduk usia anggkatan kerja. Permasalahan yang dialami oleh penduduk usia angkatan kerja, yakni rendahnya kualitas angkatan kerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2012) rendahnya kualitas angkatan kerja terindikasi dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang sebagian besar berpendidikan SD ke bawah yaitu 47,87%, SMP 18,28% dan yang berpendidikan lebih tinggi termasuk perguruan tinggi hanya 9,72%. Hal ini berdampak kepada daya saing dan kompetensi dalam memperoleh kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar negeri.

Image

Image

C. Tingkat Kemiskinan

             Tingginya laju pertumbuhan penduduk tidak serta merta dapat dengan cepat menurunkan jumlah penduduk yang berada didalam kategori “miskin”. Selama 6 (enam) tahun terakhir sejak tahun 2007, jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, tetapi masih cukup sangat besar porsinya dalam jumlah penduduk secara keseluruhan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga tahun 2012 sebesar 12,03% dari seluruh jumlah penduduk secara keseluruhan yang sebesar 28,5 juta jiwa. Tidak meratanya perkembangan ekonomi menjadi salah satu indikator masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Hingga saat ini, pertumbuhan dan perkembangan ekonomi masih terkonsentrasi di kawasan Indonesia bagian barat khusunya Jawa, Bali dan Sumatera yang hampir 70% aktivitas ekonomi dalam negeri terpusat dikawasan ini. Besarnya potensi sumber daya alam di Indonesia tidak otomatis memperkecil jumlah penduduk miskin di negeri ini, hal ini dikarenakan pembangunan infrastruktur ekonomi baik fisik (jalan raya, pelabuhan, pembangkit listrik,dll) dan non fisik (SDM yang handal, kemajuan IPTEK) yang tidak berjalan dengan cepat.

 Image

D. Pengangguran Terbuka

 Perkembangan ekonomi Indonesia telah menunjukkan kemajuan diberbagai bidang pembangunan, tetapi kemajuan ini masih belum dapat menangani masalah pengangguran terbuka. Pada tahun 2012, angkatan kerja Indonesia berjumlah 118,05 juta orang. Dari jumlah itu, pengangguran terbuka mencapai 7,2 juta orang atau 3,05 % dari jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia atau 6,14% dari total penduduk berusia angkatan kerja. Masih tingginya jumlah pengangguran terbuka ini nantinya akan sangat berdampak pada tingginya jumlah penduduk miskin di negeri nantinya. Masih besarnya jumlah pengangguran terbuka  pada usia muda (angkatan kerja) tersebut merupakan masalah sekaligus tantangan pemerintah yang harus dapat dicari penyelesaiannya agar mereka dapat bekerja sesuai dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki yang terus disokong dengan bantuan dan pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah. Hal yang sangat dikhawatirkan dengan masih tingginya jumlah pengangguran terbuka ini akan menjadi salah satu indikator terbesar meningkatnya kriminialitas dikalangan masyarakat yang akan sangat berdampak pada iklim investasi di dalam negeri sehingga nantinya akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam negeri serta daya saing global Indonesia dalam segi ekonomi.

            Tingkat pengangguran terbuka paling banyak terdapat di golongan penduduk yang pendidikan terakhirnya yakni pendidikan menengah (SMP/SMA/SMK/SD). Hal ini sangat sulit untuk dapat diatasi karena rendahnya pendidikan atau mutu pendidikan yang didapatkan oleh penduduk yang tergolong pengangguran terbuka otomatis rendah pula kualitas atau mutu sumber daya manusia tersebut. Untuk dapat mengatasinya pemerintah harus dapat menggalakkan pendidikan gratis 12 tahun yang tidak hanya gratis, tetapi juga meningkatkan mutu kurikulum agar nantinya lulusan dari pendidikan menengah dapat bersaing dengan penduduk yang berpendidikan tinggi, serta meningkatkan softskill atau keterampilan diluar kemampuan akademik dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan sejak dini di kalangan penduduk dengan mendukung sektor ekonomi kreatif, mikro dan menengah.

Image

Image

E.Kondisi Pasar Kerja Indonesia Saat ini

            Pasar kerja saat ini di Indonesia masih didominasi oleh lapangan kerja di sektor bahan mentah, yakni pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan. Dimana sektor tersebut menyerap 35% lapangan kerja. Sedangkan dari segi status pekerjaan, dominan masih berstatus buruh/pegawai/karyawan yang sebesar yang hampir 36,4 %. Masih bertumpunya sektor lapangan pekerjaan di Indonesia pada bahan mentah akan sangat lambat membantu untuk dapat mencapai Indonesia sebagai Negara maju di tahun 2025. Pemerintah harus dapat meningkatkan sektor lapangan kerja ke sektor yang memiliki nilai tambah seperti industri agar dapat cepat menyerap tenaga kerja. Masih tingginya peran sektor ekonomi bahan mentah dalam penyerapan tenaga kerja tidak diikuti dengan perlindungan lingkungan hidup yang terkadang akan menjadi hambatan baik secara langsung atau tidak langsung terhadap sektor lapangan kerja tersebut. Pemerintah harus terus menggalakkan pembangunan ekonomi dengan konsep “ekonomi hijau”, “ekonomi biru”  dan “pembangunan berkelanjutan”.

 Image

            Status pekerja yang masih didominasi dengan buruh/karyawan/pegawai menandakan bahwa penduduk di Indonesia masih kurang memanfaatkan atau memilih bergelut di sektor kewirausahaan yang padahal merupakan sektor yang dapat menciptkan lapangan kerja dan lebih menguntungkan secara ekonomis jika diikuti dengan manajemen yang baik. Dengan masih tingginya status pekerja sebagai buruh/karywan/pegawai, pemerintah maupun swasta secara serta merta harus dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga mereka dapat menjalankan hisup “layak” sehingga akan meningkatkan produktivitas pekerja secara langsung nantinya.

 Image

F. Isu Ketenagakerjaan Terkini

Isu ketenagakerjaan (Bappenas) saat ini antara lain:

–          Masih adanya kecenderungan penurunan pekerja formal dalam beberapa kurun tahun terakhir dibandingkan pekerja informal .

–          Masih besarnya lapangan pekerjaan di sektor informal yang tidak dibarengi dengan meningkatnya kesejahteraan pekerja informal. Adanya kecenderungan menurunnya pekerja formal pada lima tahun terakhir ini juga menjadi penyebab meningkatnya jumlah pekerja informal. Besarnya lapangan kerja informal membutuhkan perhatian khusus pula akan pemenuhan kebutuhan dasar mereka, seperti pangan, sandang, dan papan yang kesemuanya itu harus dicerminkan dari upah riil pekerja informal. Peningkatan upah pekerja di industri besar tanpa mempertimbangkan produktivitas akan diikuti oleh tingkat pengangguran yang tinggi serta tekanan bagi upah pekerja informal yang menimbulkan perbedaan upah yang semakin lebar antara pekerja formal dan informal.

–          Dengan terbatasnya kesempatan kerja di Indonesia, sementara peluang kesempatan kerja di luar negeri cukup besar maka permasalahan TKI juga akan mewarnai kondisi ketenagakerjaan yang membutuhkan perhatian utama dari pemerintah. Pemerintah harus terus meningkatkan upaya penyempurnaan peraturan bagi TKI, yakni dengan meninjau kembali mekanisme perekrutan, pelatihan, pemberangkatan, penempatan, perlindungan, dan pemulangan TKI.

–          Dengan meningkatnya tuntutan dunia kerja akan tenaga kerja terampil, ahli, dan kompeten seiring dengan tuntutan ekonomi global dibutuhkan perhatian ekstra untuk penyiapannya. Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang telah terbentuk pada tahun 2005 diharapkan dapat melaksanakan sertifikasi kompetensi tenaga kerja sesuai dengan tugasnya secara independen, transparan dan obyektif. Badan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal penyiapan tenaga kerja Indonesia yang terampil, ahli, dan kompeten dalam rangka menghadapi persaingan global.

–          Dengan meningkatnya perkembangan perekonomian Indonesia yang diiringi dengan meningkatnya intensitas hubungan industrial antara pekerja dan pemberi kerja, maka upaya menciptakan hubungan  industrial yang harmonis membutuhkan perhatian pula dari pemerintah. Hubungan industrial yang harmonis dapat tercipta jika terdapat keseimbangan dan kesejajaran antara pekerja dan pemberi kerja dalam memperjuangkan hak-haknya.

–          Lemahnya pendidikan kewirausahaan di Indonesia.

–          Para lulusan dari bidang pendidikan umum kesulitan untuk menciptakan usaha sendiri. Persoalan berikutnya adalah mengenai upah minimum yang biasanya tidak sesuai dengan standar hidup yang layak. Hal ini mempengaruhi persoalan berikutnya mengenai kesejahteraan pekerja akibat upah riil buruh yang menurun. Standar upah minimum yang ditetapkan pemerintah kerap tidak sejalan dengan laju inflasi dan tingkat kebutuhan tenaga kerja.

–          Biaya “siluman” lebih besar dari biaya buruh. Itu tentang sogok-menyogok dan biaya birokrasi yg tinggi, jika biaya siluman dan biaya untuk memenuhi urusan birokrasi tidak sebesar saat ini, keuntungan yang diperoleh perusahaan bisa disalurkan untuk kesejahteraan karyawannya sehingga pengusaha bisa memberi porsi yang lebih besar untuk gaji karyawannya

Selain isu terkini diatas, penulis merangkum beberapa isu terkini lain hingga saat ini, yaitu:

 Image

G. Kebijakan Pemerintah Terkait Ketenagakerjaan

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

Ò  Menyediakan pekerjaan untuk sementara waktu bagi 205.520 orang penganggur melalui padat karya produktif dan infrastruktur di 351 kab/ kota.

Ò  Memfasilitasi 12.900 orang pekerja anak yang ditarik dari Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (BPTA) untuk kembali ke dunia pendidikan atau memperoleh pelatihan keterampilan.

Ò  Mengurangi jumlah anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak

Ò  Program Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja dan Produktivitas;

Ò  Program Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja;

Ò  Program Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;

Ò  Program Perlindungan Tenaga Kerja dan Pengembangan Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan;

Ò  Peraturan yang dapat mendorong penciptaan kesempatan kerja dan memperkuat lembaga hubungan; industrial (penyempurnaan revisi UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);

Ò  Meningkatnya pengamanan kepergian TKI ke Luar negeri untuk mencegah TKI ilegal

Ò  Terintegrasinya  pelayanan penempatan calon TKI di daerah

Ò  Bursa kerja online di setiap provinsi/kabupaten/ kota

Ò  Memaksimalkan fungsi Unit Pelaksana Teknis bidang ketenagakerjaan baik di tingkat Pusat maupun daerah, seperti Balai Besar Latihan Kerja Industri/UPTD/Balatrans

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI):

Ò  Peningkatan kemampuan SDM dilakukan dengan meningkatkan kompetensi tenaga kerja indonesia yang disesuaikan dengan 6 (enam) koridor MP3EI.

Ò  Penyelarasan antara pasokan maupun permintaan tenaga kerja yang dapat dilakukan pemerintah melalui 22 kegiatan ekonomi utama dalam Kawasan Perhatian Investasi (KPI) di MP3EI.

Ò  Penyediakan tenaga kerja dengan kompetensi yang selaras, dengan 2 cara yaitu melalui (i) jalur pendidikan formal  dan (ii) jalur pelatihan dalam berbagai bentuk.

H.Penutup

Berikut solusi/kerangka dasar dalam menyelesaikan beberapa masalah ketenagakerjaan di Indonesia (Koestoer, 2013) :

Ò  Mendorong pelatihan bagi pengembangan ekonomi kreatif (program-program kewirausahaan)

Ò  Membangun sinergi dan terobosan dalam penciptaan pasar kerja baru (peningkatan program pelatihan SDM; dan peningkatan riset ketenagakerjaan yang relevan)

Ò  Perluasan Penciptaan pasar Kerja via pengembangan Ekonomi Kreatif dan UKM Inovatif, menarik & Mengembangkan Investasi-SDM.